berita

Bagaimana Seharusnya PWI Membangun Respek Kepublikan?

Kamis, 14 September 2023 | 09:38 WIB
Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah

Oleh: Amir Machmud NS

Edisi.co.id - TRANSISI kehidupan pers dari masa Orde Baru ke era reformasi mengetengahkan zona tantangan yang berbeda bagi organisasi profesi kewartawanan.

Jauh sebelum masa reformasi, pemerintah mengukuhkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kewartawanan, lewat SK Menteri Penerangan Nomor 47/ 1975. Ketentuan itu tidak lagi ada dalam Undang-Undang Nomor 40/ 1999 tentang Pers, dengan semangat keragaman dan hak berserikat sesuai dengan amanat Konstitusi.

Konsekuensinya, PWI mesti bersaing dengan rupa-rupa organisasi kewartawanan yang muncul bak cendawan di musim hujan sebagai realitas berkah reformasi 1998. Fenomena ini bisa pula dilihat sebagai semacam euforia dunia pers lantaran terlepas dari masa-masa keterbelengguan.

Baca Juga: Perpani Banten Menaruh Harapan Besar Pada Perpani Tangsel Untuk Mencetak Atlet Panahan Internasional

Persaingan itu menyangkut “wajah” dalam konteks tampilan visi, orientasi, karakter, seni, dan gaya dalam membangun relasi kepublikan. Akses ke pusat-pusat kekuasaan misalnya, tidak lagi menjadi dominasi PWI, melainkan juga organisasi profesi kewartawanan lain, yang masing-masing punya parameter “jarak” tersendiri.

Akses dalam berelasi, tentu tak terlepas dari tarikan respeksi antara organisasi profesi wartawan dengan stakeholders-nya. Dalam praktik, tak bisa dihindari potensi kemunculan “chaos” dalam hubungan antara PWI dengan pemangku kepentingannya.

“Relasi chaostik” itulah yang patut dicari jawab, “Ada apa?”. “ Mengapa terjadi?”. “Tak dihormatikah tugas dan fungsi profesi kita?” “Tak ada logika untuk mendapatkan respekkah organisasi kita?” Atau “Jangan-jangan kita sendiri yang disadari atau tidak disadari menciptakan kondisi seperti itu?” Dan, ujung-ujungnya, “Mengapa organisasi ini tidak lagi diperhitungkan?”

Nah, ketika narasi introspeksi “apakah tidak ada logika untuk memberi respek kepada wartawan/ PWI” itu kita apungkan, timbul pertanyaan: siapa yang seharusnya memulai relasi yang saling menghargai?

Baca Juga: Kepala Dinas Pusip Ingin Gerakan Literasi di Kampus Semakin Masif

Penguatan Respek

Relasi yang sehat antara wartawan dengan narasumber/ pemangku kepentingan mutlak harus ditandai dengan sikap saling memahami tugas, peran, dan fungsi masing-masing. Tak boleh ada yang merasa sebagai entitas lebih unggul, makhluk tidak tersentuh, atau bersikap dominan/ superior terhadap yang lain.

Sebagai “rumah” dan “wadah”, PWI tak berbeda dari organisasi profesi kewartawanan yang lain. Respek akan didapat apabila PWI, pengurus, dan para anggotanya menguatkan “posisi respektif”-nya. Jangan berharap memperoleh respek publik bila performa kita tidak tidak mampu memancarkan respek internal.

Pada titik yang paling sederhana, membangun respek akan tercermin dari kemauan memperkuat kompetensi profesi -- cakap teknis, kuat etis. Mahkota kehormatan terletak pada karya-karya jurnalistik sebagai produk kapasitas, bukan karena pemaksaan menampilkan jatidiri sebagai entitas sangar untuk ditakuti. Disegani bukan karena aura intimidasi. Publik respek karena menghormati produk unggul jurnalistik kita, dari kemitraan kritis kita.

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB