Ini termasuk organisasi yang bekerja dengan 6,5 juta anak yatim dan anak-anak rentan yang terinfeksi HIV di 23 negara.
Ancaman Terhadap Kesehatan Global
Keputusan Trump untuk menghentikan pasokan medis ini diperkirakan akan memiliki dampak global yang luas.
The New York Times melaporkan bahwa tanpa pengobatan, jumlah virus HIV dalam tubuh penderita dapat meningkat dengan cepat, melemahkan sistem kekebalan tubuh mereka, serta meningkatkan kemungkinan penularan virus ke orang lain.
Diperkirakan, satu dari tiga wanita hamil yang tidak menerima pengobatan dapat menularkan virus kepada bayi mereka.
Selain itu, penghentian distribusi obat diprediksi dapat menyebabkan kemunculan strain virus yang lebih kuat dan resisten terhadap pengobatan.
Sebuah penelitian bahkan memperkirakan bahwa jika program ini benar-benar dihentikan, sekitar 600.000 nyawa dapat melayang dalam satu dekade ke depan, khususnya di Afrika Selatan.
"Ini adalah domino lain dari dampak buruk pembekuan program berbahaya yang membuat nyawa tergantung pada keseimbangan," kata Jirair Ratevosian, mantan kepala staf PEPFAR di era pemerintahan Joe Biden.
Kebijakan yang Mengancam Bantuan Kemanusiaan
Pada 20 Januari 2025, Presiden Trump memerintahkan jeda 90 hari dalam bantuan pembangunan luar negeri, sembari meninjau kembali efisiensi program-program tersebut dan kesesuaiannya dengan kebijakan luar negeri AS.
Namun, kebijakan ini menimbulkan dampak besar bagi negara-negara yang selama ini mengandalkan bantuan AS.
Sumber dari USAID juga melaporkan bahwa sekitar 60 pejabat senior di badan tersebut telah diberhentikan, menambah ketidakpastian terhadap kelangsungan bantuan kemanusiaan di masa depan.
Pada tahun fiskal 2023, AS mencairkan bantuan sebesar USD 72 miliar, yang mencakup 42 persen dari seluruh bantuan kemanusiaan global yang dilacak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2024.
Dengan penghentian pasokan obat ini, keberlanjutan program-program penyelamatan nyawa kini menjadi tanda tanya besar.***