berita

Hak Jawab, Bukti, dan Posisi Media dalam Menyikapi Somasi

Selasa, 16 September 2025 | 06:56 WIB
Ketua AMKI Jawa Tengah Samsul Arifin

Oleh: Samsul Arifin (Ketua AMKI Jateng)

Edisi.co.id - Hak jawab merupakan salah satu instrumen penting dalam menjaga keseimbangan informasi dalam ruang publik. Dalam praktik jurnalistik, hak jawab dipandang sebagai jembatan antara kebebasan pers dengan hak asasi setiap orang untuk melindungi kehormatan, nama baik, serta martabatnya. Mekanisme ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari prinsip akuntabilitas media.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan landasan yang tegas. Pasal 5 ayat (2) menyebutkan:

“Pers wajib melayani Hak Jawab.”

Sementara Pasal 1 angka 11 UU Pers mendefinisikan hak jawab sebagai:

“Hak seseorang atau kelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.”

Artinya, hak jawab tidak bisa dilepaskan dari dua hal: pertama, adanya pemberitaan yang dianggap merugikan; kedua, adanya kewajiban media untuk memberi ruang perbaikan melalui tanggapan dari pihak yang dirugikan.

Namun, penting untuk dipahami bahwa hak jawab bukanlah karya wartawan atau media. Hak jawab ditulis langsung oleh orang atau pihak yang merasa dirugikan. Media hanya berkewajiban menyiarkan secara proporsional, tanpa mengubah substansinya. Di sinilah sering terjadi kesalahpahaman: ada pihak yang meminta media menuliskan hak jawabnya, padahal itu bukanlah tugas media. Media hanya berperan sebagai fasilitator publikasi, bukan penyusun narasi versi pihak yang keberatan.

Lebih jauh, hak jawab harus berbasis pada bukti. Pihak yang merasa dirugikan tidak bisa hanya mengajukan klaim atau somasi tanpa melampirkan data pendukung. Misalnya dokumen, foto, rekaman, atau pernyataan resmi yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika hak jawab hanya berupa tuduhan atau klaim kosong, maka hak jawab itu kehilangan substansi dan berpotensi menyesatkan. Media yang memuat tanpa verifikasi justru bisa terseret dalam masalah hukum baru.

Kode Etik Jurnalistik mempertegas hal ini. Pasal 11 KEJ berbunyi:

"Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.”

Kata “proporsional” dalam konteks ini berarti hak jawab harus seimbang, sesuai substansi yang dipersoalkan, dan tidak melampaui batas. Jika tanpa bukti, hak jawab tidak memenuhi prinsip proporsionalitas dan media berhak untuk meminta kelengkapan sebelum menayangkannya.

Bagaimana jika hak jawab atau somasi diajukan tanpa bukti? Dari perspektif hukum, media tetap wajib menghormati dan menanggapi permintaan tersebut. Namun, media berhak menunda atau menolak pemuatan hingga pihak yang bersangkutan melengkapi data. Prinsip “beban pembuktian” ada pada pihak yang mengajukan hak jawab, bukan pada media. Media hanya perlu memastikan bahwa hak jawab yang dimuat tidak bertentangan dengan fakta dan tidak menjadi sarana penyebaran fitnah.

Baca Juga: 3600 Peserta Ikuti Sosialisasi STOPAN Jabar: Dorong Gerakan Sadar Pencatatan Nikah

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB