berita

Pendidikan Humanis Mengikis Feodalisme dan Otoritasianisme Membangun Karakter Bangsa

Selasa, 16 September 2025 | 15:06 WIB

edisi.co.id – Inspirasi dari Fenomena Sosial Kontemporer tulisan ini terinspirasi dari video di TikTok yang beredar di mana Ketua MUI mengatakan bahwa kerusuhan saat demo seolah menjadi tradisi: ada huru-hara barulah tuntutan rakyat direspons. Terkesan bahwa penyelesaian masalah dan respons pejabat setelah terjadi huru-hara atau amuk massa. Seolah demonstrasi yang menyampaikan pendapat dengan damai tidak direspons kalau tidak rusuh. Hal tersebut sangat kontras dengan pernyataan pejabat agar masyarakat menyampaikan kritikan dengan sopan.

Membaca berita media tentang beredar rekaman dengan narasi diduga Menteri Satryo aniaya ajudan dan ratusan aparatur sipil negara (ASN) Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) melakukan aksi protes yang disebut sebagai “Senin Hitam” di lobi utama Gedung D, Gedung Kemendikti Saintek pada pagi ini, Senin (20/1/2025). Para ASN melakukan aksi unjuk rasa lantaran merasa diperlakukan tidak adil oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro cukup membuat saya terkejut karena sebagai mantan guru honorer di SMK Pendidikan jurusan Keperawatan dan Farmasi yang menganggap profesi guru dan pendidik terhormat walau kehidupan sederhana dan guru dianggap pahlawan tanpa tanda jasa.

Ada perasaan ngilu di lubuk hati saya yang paling dalam ketika membaca banyak kasus kekerasan termasuk kekerasan fisik, bullying, dan pelecehan seksual terjadi di dunia pendidikan dan dilakukan oleh akademisi yang bergelar sarjana, doktor, bahkan profesor. Penyimpangan perilaku kriminal termasuk plagiarisme dan korupsi yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia sudah tahapan menghawatirkan dan merisaukan.

Baca Juga: Kemendikdasmen Dorong Digitalisasi Pembelajaran untuk Wujudkan Kelas Interaktif

Perlu dilakukan pisau analisis yang tajam tentang fenomena sosial di masyarakat dengan perilaku menjurus premanisme dan kekerasan yang justru sedang melanda dunia pendidikan Indonesia. Saya akan mencoba menganalisis dari beberapa teori dasar pendidikan berdasarkan pemikiran para pendiri bangsa untuk mengurai benang merah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia hari ini.

Pertanyaan penting bagi kita dengan fenomena kekerasan baik dalam bentuk tawuran, debt collector, pemerasan, bullying termasuk di media sosial, kekerasan fisik, pelecehan seksual, apakah peristiwa itu berdiri sendiri atau merupakan akumulasi dari sistem yang terbentuk dari kondisi politik dan sosial masyarakat Indonesia.

Wajah Premanisme dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Pemerintahan

Wajah premanisme Indonesia hari ini bukan saja ditemui di jalanan, stasiun, pasar. Tapi dalam bentuk pemerasan dan membayarkan uang jaminan keamanan pada sekelompok orang yang berperilaku preman. Merupakan wajah kehidupan bermasyarakat Indonesia yang tercermin dalam perilaku oknum birokrasi, oknum aparat, dan oknum pejabat pemerintahan.

Budaya suap, budaya memeras kepala dinas yang dilakukan mantan bupati Bengkulu yang tertangkap KPK, budaya setor sejumlah uang untuk pengurangan hukuman atau tidak diproses atau diperlama prosesnya oleh oknum aparat, oknum kejaksaan, bahkan peringanan hukuman oleh oknum hakim adalah bentuk perilaku premanisme yang menjurus pemerasan secara halus dengan menjadikan jabatan sebagai penyandera pemerasan.

Kun Sriasih dalam Avantara e-Journal Pendidikan Sejarah Vol. 2 No. 2 Juni 2014 mengatakan bahwa sikap, tindakan, dan perilaku para preman itu yang disebut premanisme. Jadi ada orang yang bukan preman namun melakukan tindakan premanisme. Tetapi kalau preman pasti melakukan tindakan premanisme.

Berpedoman pada definisi preman dari beberapa ahli maka perlu kita mempertanyakan jika cara-cara premanisme tercermin dalam struktur pemerintahan termasuk dunia pendidikan walau itu hanyalah oknum tapi kategori oknum juga mayoritas maka perlu dipertanyakan kegunaan dari peraturan dan undang-undang termasuk tujuan berdirinya negara.

Hukum dan demokrasi yang menjadi dasar berdirinya NKRI terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Perilaku premanisme keterkaitan dengan mental inlander. Preman atau istilah vrijman sudah ada sejak zaman kolonialisme. Vrijman atau preman dikembangkan oleh pekerja perkebunan di Medan pada masa kolonialisme untuk melawan kesewenang-wenangan pengusaha kebanyakan Belanda yang tidak manusiawi. Para tuan tanah pemilik tanah partikuler mengincar para jagoan dalam istilah pribumi atau vrijman untuk dijadikan tukang pukul atau centeng. Para jagoan sesat yang diimingi materi oleh pemerintah kolonial menjadikan vrijman atau jagoan untuk memungut pajak dari rakyat dan memanfaatkan para jagoan sesat ini menjadi informan mencari biang rusuh di masyarakat.

Kita perlu membedah apa yang dituliskan pendapat orang Belanda pada zaman kolonialisme tentang karakter inlander. Wartawan Willem Walraven (1887-1943) yang pada 15 Maret 1941 menulis kepada pengarang Rob Nieuwenhuys mengenai Inlanders. Willem Walraven menggambarkan inlanders bukan orang demokratis tapi otokratis yang mau kuasa sendiri tanpa batas. Indonesier seorang materialistis. Pada masa kolonialisme Belanda menyebut orang Indonesia inlanders. Tapi orang Indonesia menyebut diri mereka Indonesier yang berarti Indonesia yang terhormat. Indonesia terhormat menurut Walraven mementingkan serba kebendaan bukan orang idealis artinya hidup dengan cita-cita atau idealisme. Indonesier bukan Marxis, bukan sosialis melainkan betul-betul tipikal borjuis atau kebendaan.

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB