Karakter inlander yang digambarkan Belanda materialistis atau petit borjuis tergambarkan dalam disertasi Julia Suryakusuma tentang Ibuisme negara yang menuliskan bahwa ideologi Bapak-ibuisme yang hidup di alam bawah sadar masyarakat Indonesia akibat doktrin negara kuat Orba merupakan perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme Jawa yang bercirikan petit borjuis.
Kecenderungan Otoritarianisme dan Hambatan Demokrasi
Kecenderungan otoritarianisme dan kurang rasional penghambat demokrasi. Kekhawatiran Sutan Syahrir tentang watak fasisme pribumi Indonesia yang telah mengkristal dalam unsur-unsur feodalisme pribumi Indonesia yang merupakan kombinasi antara kolonialisme Belanda dan militerisme-totaliter Jepang. Setiap orang Indonesia bisa berkontribusi pada dehumanisasi dan dekultural akibat unsur kolonialisme, feodalisme, dan fasisme. Syahrir memperjuangkan sosialisme kerakyatan yang mengutamakan kemanusiaan dan persamaan derajat. Menurut Sutan Syahrir penting membentuk manusia Indonesia yang sadar sehingga mempunyai kesadaran terbentuk manusia untuk berpikir secara rasional, dewasa, dan kritis.
Ketidakmampuan rasionalitas manusia Indonesia yang cenderung hipokrit, percaya takhyul, feodalisme juga dinyatakan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan di Taman Mini Indonesia Indah tahun 1977. Vicorius Didik dengan tulisan otoritarianisme versus dukungan terhadap demokrasi (2016) menjelaskan bahwa kepribadian otoritarianisme adalah kecenderungan kepribadian untuk tunduk dan taat pada otoritas maupun kelompok yang berkuasa yang termanifestasikan dalam pribadi yang berkuasa (otoritarian-submisif) maupun nilai-nilai normatif (konvensionalisme) serta kecenderungan bersikap dan bertindak agresif terhadap orang yang dianggap berbeda dan menentang nilai-nilai masyarakat (otoritarian agresif).
Orang kepribadian otoritarian memandang realitas sebagai tempat perebutan kekuasaan. Ada yang di atas dan di bawah dan tidak ada solidaritas antar manusia. Cara terbaik untuk hidup adalah tunduk pada kekuasaan yang lebih besar dan menindas yang lebih rendah. Kepribadian otoritarianisme untuk pencarian perlindungan merupakan gambaran pemerintahan yang bersifat paternalistik. Otoritarianisme muncul dan berkembang dalam transisi masyarakat feodalisme menuju industri modern.
Pada saat dimulai Orde Baru periode 1970-an dimulai dengan penghabisan kelompok paham kiri (komunisme-marxisme) dan pendukung Soekarno maka dimulai pembangunan dengan pinjaman modal asing. Transisi masyarakat feodalisme yang masih bercirikan fasisme dengan kepribadian otoritarian yang belum terbentuk kesadaran manusia yang rasional seperti yang dicita-citakan Syahrir yaitu manusia baru, budi baru, dan masyarakat baru. Transisi yang terjadi dengan pelibatan militer Syahrir khawatir dengan kultur militeristik yang kecenderungan fasisme peninggalan kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang.
Negara kuat Orba melakukan pengendalian, hierarkis, stabilitas melalui ideologi Bapak-ibuisme.
Negara berusaha mengendalikan massa dengan menggunakan kelompok massa yang bertindak dalam pembantaian kelompok yang dianggap kiri setelah 1965. Mental inlander yang feodalisme, kecenderungan fasisme, dan petit borjuis atau kebendaan gagap menerima perubahan
Sutan Syahrir memperingatkan bahaya fasisme pribumi akibat kombinasi feodalisme, kolonialisme Belanda, dan militerisme Jepang, yang menyebabkan dehumanisasi. Ia mengusung sosialisme kerakyatan berbasis kemanusiaan dan rasionalitas. Mochtar Lubis (1977) mengkritik hipokris, takhyul, dan feodalisme masyarakat. Vicorius Didik (2016) menambahkan bahwa otoritarianisme, ditandai dengan ketundukan pada kuasa dan agresi terhadap yang berbeda, muncul dalam transisi feodal ke industri modern.
Premanisme di Orde Baru: Kontrol Negara
Pada 1970-an, Orde Baru meminjam modal asing untuk industrialisasi, namun mental feodal dan otoriter tetap kuat. Negara mengendalikan massa melalui ideologi Bapak-Ibuisme yang sentralis dan hierarkis. Premanisme dijinakkan melalui:
Penggabungan preman ke ormas setia Golkar dan militer, seperti Pemuda Pancasila (Wilson, 2018).
Operasi Petrus (1982) yang membantai penjahat binaan Opsus Ali Moertopo (Said, 2016).
Pemanfaatan preman, seperti gali di Jawa Tengah, untuk meneror lawan politik (Tempo, 2014).
Represi pasca-Malari (1974), membungkam mahasiswa dan intelektual yang memprotes investasi asing (Adam, 2013).
Ini melanggengkan otoritarianisme, dengan Soeharto sebagai "bapak" yang didukung militer, menghadapkan kritik dengan massa preman, sehingga masyarakat kehilangan rasionalitas.
Populisme Digital dan Otoritarianisme Modern
Defry Margiansyah (2021) menyatakan kemunduran demokrasi ke otokrasi bergantung pada retorika populis. Sejak 2014, populisme Jokowi-Prabowo membangun narasi dua tokoh "penyelamat" melalui blusukan dan media sosial. Penggunaan WA grup dan buzzer memperkuat polarisasi, mirip pengendalian massa Orde Baru. Laporan Tempo (2023) menyebutkan maraknya buzzer politik di media sosial, dengan anggaran pemerintah untuk influencer mencapai Rp90,45 miliar pada 2020, meskipun klaim penggunaan APBN untuk buzzer politik perlu verifikasi lebih lanjut (Media Indonesia, 2020).
Ketidakrasionalan intelektual terlihat dalam debat yang tidak substantif, sering kali berupa gosip atau serangan personal. Kasus dugaan penganiayaan Menteri Satryo (Liputan6, 2025), perilaku feodal staf khusus seperti Raffi Ahmad yang dikritik atas gaya kepemimpinannya (Bloomberg Technoz, 2024), bullying oleh Gus Miftah terhadap penjual es teh (Detik Health, 2024), dan komentar akun fufufafa—diduga terkait Gibran Rakabuming Raka—memperkuat kekhawatiran Syahrir tentang feodalisme dan Bapak-Ibuisme yang masih mengakar (Kompas, 2024)
Solusi: Pendidikan Humanis Syahrir dan Hatta