Audit BPKP Tak Bisa Jadi Alat Bukti Sah
Poin kedua yang disoroti Huda adalah penetapan hasil audit keuangan. Menurutnya, audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak cukup menjadi dasar hukum dalam kasus korupsi.
“Kalau dikeluarkan oleh BPKP saja tanpa pengesahan BPK, itu alat bukti tapi belum menjadi alat bukti yang sah,” terang Huda.
Huda menjelaskan, tanpa audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara belum dapat dinilai nyata.
Hal inilah yang sekaligus menjadi argumen kunci tim hukum Nadiem terkait BPKP belum menuntaskan audit saat klien mereka ditetapkan tersangka.
Rugi Uang Negara Belum Tentu Korupsi
Huda juga menegaskan perbedaan mendasar antara kerugian negara dan tindak pidana korupsi.
“Ada kerugian keuangan negara saja belum tentu korupsi, gedung pengadilan ini terbakar, rugi. Tapi apakah karena korupsi?” ujar ahli hukum pidana itu dalam kesempatan yang sama.
Bagi Huda, yang menentukan bukan sekadar adanya kerugian, tetapi apakah kerugian itu timbul dari perbuatan melawan hukum.
Tanpa bukti hubungan sebab-akibat tersebut, tuduhan korupsi hanya menjadi asumsi yang dinilai terburu-buru.
Waspadai Politisasi Penetapan Tersangka
Poin terakhir yang tak kalah tajam yakni terkait dugaan motif penetapan tersangka.
Huda mengingatkan, penetapan tersangka sering kali tidak murni demi penegakan hukum.
“Cukup banyak orang ditetapkan tersangka itu karena alasan-alasan politik, bukan karena alasan hukum,” tudingnya.
Huda lantas menilai, praperadilan menjadi satu-satunya instrumen untuk melindungi hak asasi manusia dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat hukum.