Dalam kesempatan itu, Prabowo mengingatkan bahwa transportasi publik yang dibuat untuk masyarakat sebaiknya tak hanya dinilai dari untung ruginya.
“Semua transportasi publik di seluruh dunia itu jangan dihitung untung rugi, hitung manfaat, enggak, untuk rakyat. Di seluruh dunia begitu, ini namanya public service obligation,” jelasnya.
Hal senada juga sempat diungkap oleh Joko Widodo (Jokowi) bahwa Whoosh adalah layanan publik, sehingga tak diukur dari laba yang masuk.
“Transportasi massa, transportasi umum itu tidak diukur dari laba tapi diukur dari keuntungan sosial,” ucap Jokowi kepada wartawan di Mangkubumen, Solo, Jawa Tengah pada 27 Oktober 2025.
“Social return of investment misalnya pengurangan emisi karbon, produktivitas masyarakat lebih baik, polusi berkurang, waktu tempuh yang bisa lebih cepat,” paparnya.
Hal itu yang menurut Jokowi adalah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi publik.
Polemik Utang Whoosh
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, membeberkan bahwa proyek Whoosh ini awalnya Jepang yang menawarkan nilai proyek 6,2 miliar dolar Amerika dan China dengan 5,5 miliar dolar Amerika yang kemudian berkembang menjadi 6,07 miliar dolar Amerika di mana selisihnya sekitar 570 juta dolar Amerika.
Kerja sama pemerintah Indonesia kemudian berlanjut dengan China senilai 6,07 miliar dolar Amerika dan masih mengalami pembengkakan karena ada biaya cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar Amerika, sehingga totalnya menjadi 7,27 miliar dolar Amerika.
Dari total biaya tersebut, 75 persen pinjam dari China Development bank dan 25 persen lainnya merupakan setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebanyak 60 persen dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. sebanyak 40 persen.
Pelunasan utang Whoosh pada China kini juga tengah didiskusikan oleh Danantara dengan negosiasi restrukturisasi pembayaran utang dari 40 tahun menjadi 60 tahun.
***