Yusril: UU Nomor 24 Tahun 1956 dan Perjanjian Helsinki Tak Bisa Jadi Rujukan Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut

photo author
- Minggu, 15 Juni 2025 | 19:52 WIB
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra - Foto: Henri Lukmanul Hakim
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra - Foto: Henri Lukmanul Hakim



Edisi.co.id, Jakarta - 
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Aceh dan Perjanjian Helsinki tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam penentuan kepemilikan empat pulau yang kini diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara. Hal itu disampaikannya menyikapi polemik status Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang.

Polemik status kepemilikan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara semakin menjadi sorotan publik. Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra menyatakan, secara yuridis, baik UU Nomor 24 Tahun 1956 maupun Perjanjian Helsinki tidak menyebutkan secara eksplisit status kepemilikan atas empat pulau tersebut.
 
“Undang-Undang 24/1956 itu hanya menetapkan pembentukan Provinsi Aceh, tapi tidak secara tegas menyebutkan batas-batas wilayah termasuk pulau-pulau kecilnya. Begitu juga dengan Perjanjian Helsinki, tidak mengatur secara rinci perihal batas wilayah,” ujar Yusril kepada wartawan, Minggu (15/6/2025).
 
 
Yusril menegaskan bahwa penentuan batas wilayah tidak semata-mata didasarkan pada kedekatan geografis. Menurutnya, banyak kasus serupa di dunia yang membuktikan hal tersebut.
 
“Pulau Pasir itu lebih dekat ke NTT, tapi masuk Australia. Pulau Natuna dekat ke Malaysia, tapi masuk Indonesia. Jadi masalah batas itu tidak selalu soal letak,” jelasnya.
 
Polemik ini mencuat setelah Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, menyebut empat pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh. Pernyataan Kalla merujuk pada UU 24/1956 serta Perjanjian Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada 2005 silam.
 
 
Menanggapi itu, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyebut pihaknya akan melakukan kajian mendalam terhadap dokumen-dokumen tersebut.
 
“Karena di UU Nomor 24 Tahun 1956 itu pun tidak secara detail mengatur batas. Di dokumen Helsinki hanya disebutkan perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956,” kata Bima.
 
Kemendagri, lanjut Bima, saat ini masih mengumpulkan berbagai data dan fakta historis untuk memastikan status wilayah secara objektif. Ia menegaskan bahwa belum ada batas laut resmi yang ditetapkan di antara empat pulau tersebut.
 
 
Pemerintah pusat menegaskan bahwa penyelesaian polemik ini akan dilakukan dengan pendekatan hukum dan administrasi yang sah. Di sisi lain, sejumlah tokoh masyarakat Aceh mendesak agar pemerintah bersikap transparan dalam menyelesaikan masalah ini, agar tidak menimbulkan gejolak baru di tengah masyarakat.
 
 
 
Sumber: Akun Facebook Update Nusantara

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Henri Lukmanul Hakim

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X