Pada level komunitas, keseganan kepada profesi ini bisa dilahirkan dari performa organisasi yang dirawat dengan penuh kemartabatan.
Baca Juga: Prabowo Terima Kunjungan Arhan Pratama: Terima Kasih atas Perjuangan Timnas U-23
Lalu dari mana kemartabatan kita dapatkan? Utamanya tentu dari sikap profesional. Sikap ini akan menghasilkan respek kepublikan. Lalu respek akan menjadi fondasi eksistensial organisasi dan profesi.
Jangan berharap akan muncul kemartabatan profetik sebagai awal mula respek publik, kalau kita tidak konsisten menegakkan pilar-pilar organisasi. Siapa pula yang diharapkan menjadi penjaga konstitusi kalau bukan anggota dan pengurus organisasi profesi itu?
Apakah kebiasaan dalam sikap-sikap bersiasat, memainkan celah, dan bergerak atas logika justifikasi kepentingan bisa diharapkan memperkuat respek kepublikan? Tentunya tidak.
Nilai Kehormatan
“Rumah besar” bernama PWI ini berdiri dan berkembang di atas penyangga berupa Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT). Di dalam substansi penyangga itu bisa kita resapi makna, tujuan, dan nili-nilai kehormatan profesi.
Nilai-nilai kehormatan itu berupa karya jurnalistik tentang kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, yang jika konsisten diperjuangkan oleh profesi ini, bisa diharapkan menyemburatkan aura respek kepublikan.
Tantangan respektif PWI rasa-rasanya tak berubah dari periode ke periode, apa pun dinamika yang muncul lewat kongres ke kongres, termasuk dari Kongres 2023 di Bandung, 24- 27 September nanti.
Ajakan melakukan refleksi komprehensif kiranya cukup menjelaskan tentang kebutuhan nyata PWI saat ini: kita bangun respek kepublikan dengan menyulam secara konsisten respek internal kepada diri kita, kepada rumah besar kita, dengan unjuk kehormatan melalui karya-karya jurnalistik yang berkeunggulan nyata.