“Saya berharap teman-teman di sini mampu mengisi Rencana Strategis (Renstra) BKKBN. Karena rancangan teknoratisnya saat ini sudah ditetapkan Bappenas, tetapi nanti definitif Renstra tentu setelah RPJMN-nya ditetapkan presiden terpilih nanti Oktober. Maka, setelah Oktober itu akan ada penyesuaian renstra sesuai dokumen RPJMN yang ada. Itulah kenapa teman-teman hadir di sini, karena renstranya beda, beda-beda tipis,” ujar Tavip.
Dia tidak memungkiri selama ini kebijakan kependudukan kecenderuangannya seragam. Padahal, berdasarkan karakteristik daerahnya harusnya berbeda-beda. Dia mencontohkan, Provinsi DIY dengan empat kabupaten dan satu kota dengan Jabar dengan 27 kabupaten dan kota tentu tantangannya berbeda.
“Itulah kenapa hakikat pentingnya menyusun afirmasi policy di dalam sektor kependudukan,” tandas Tavip.
Transformasi Demografis
Di bagian lain, Tavip menjelaskan saat ini Indonedia berada di tengah transformasi demografis. Di mana, penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami laju penurunan. Indonesia yang kini menempati posisi keempat jumlah penduduk terbesar di dunia, dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami pergeseran. Ini terjadi berkat penurunan TFR dan LPP. Sebaliknya, negara-negara lain di Afrika dan sekitarnya masih menunjukkan LPP tinggi.
“Ini menjadi tantangan Indonesia menuju Indonesia Emas. Walaupun kalau bicara bonus demografi itu kita sudah mepet. Kemungkinan bonus demografi bisa lepas jika kita tidak melakukan penyesuaian dengan kebijakan yang seharusnya. Kalau lepas, tentu isunya adalah bagaimana memanfatkan bonus demografi tahap II. Yakni, memanfaatkan momentum tingginya ageing population dengan menjadikannya produktif. Karena itu, masalah kita ke depan adalah ketimpangan sosial-ekonomi,” tegas Tavip.
Dia memaparkan, selama setahun terakhir data BPS menunjukkan penurunan kesmikinan ekstrem secara nasional. Situasi ini menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat, khususnya terkait tenaga kerja berkualitas. Persentase pekerja informal di Indonesia sebesar 59,11 persen menjadi cerminan kualitas tenaga kerja masih rendah.
Sementara itu, angka prevalensi stunting antarkabupaten-kota masih bervariasi. Angka prevalensi stunting pada 2023 hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya. Saat ini sedang dipersiapkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024. Tavip menilai ini menjadi momentum penting, apakah angka stunting akan turun signifikan atau tidak.
“Salah satu contoh yang cukup memprihatinkan kita semua, ketika kemarin dilakukan pengukuran dan evaluasi stunting, ternyata ditemukan 5 juta balita masalah gizi. Tapi sayang intervensinya baru berjalan 14 persen. Saya kira ini menjadi tantangan kita bersama ketika spiritnya betul-betul ingin menurunkan angka stunting. Karena itu, saya titip kita tidak cukup hanya melakukan pengkuran, tidak cukup kampanye perubahan perilaku, tapi yang terutama adalah bagaimana memastikan terdeliver-nya pemberian makanan tambahan (PMT), pemberian tablet tambah darah (TTD), imunisasi, dan lain-lain,” papar Tavip.
GDPK Jawa Barat 2025-2045
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat Siska Gerfianti melaporkan Provinsi Jawa Barat sudah menuntaskan penyusunan GDPK 2025-2045. Siska berharap GDPK bisa menjadi acuan pembangunan di Jawa Barat.
“Dengan bertambahnya penduduk, burden begitu tinggi. Terutama berkaitan dengan pendidikan, perumahan, termasuk salah satunya sampah. Dan, tentu kependudukan juga memang kita harapkan Indonesia mampu jadi kekuatan ekonomi keempat dunia pada 2045,” ungkap Siska saat menyampaikan sambutan selamat datang kepada peserta Rakortek.
Dengan populasi yang tinggi, Siska melihat Jawa Barat memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung terwujudnya Indonesia Emas 2045. Salah satu syaratnya adalah menjadikan sumber daya manusia (SDM) Jawa Barat unggul. Dia berharap Jawa Barat bisa terus menekan angka prevalensi stunting, khususnya pada 2024 sebagai akhir periode RPJMN.
Senada dengan Tavip, Siska menegaskan bahwa penduduk merupakan salah satu modal penting yang berperan sebagai objek dan subjek dalam pembangunan. Artinya, penduduk merupakan objek tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Dengan begitu, kualitas penduduk akan berpengaruh terhadap kualitas keberhasilan pembangunan.
“Kami laporkan bahwa Jawa Barat ini merupakan privinsi dengan penduduk terbesar. Ada 50 juta jiwa penduduk di Jawa Barat. Ada 25 juta sekian adalah laki-laki dan 24 juta sekian adalah penduduk perempuan. Jawa Barat populasinya hampir 20 persen dari penduduk Indonesia, dengan jumlah keluarganya berjumlah sekitar 13,5 juta keluarga,” papar Siska.