Edisi.co.id- Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menilai bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak perlu terlalu jauh terlibat dalam polemik ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Menurut Mahfud, sebagai lembaga resmi yang menerbitkan ijazah, peran UGM cukup sampai pada pemberian klarifikasi, bukan membela atau ikut membantah tuduhan pemalsuan.
Pernyataan ini disampaikan Mahfud saat menjadi narasumber dalam siniar Terus Terang yang ditayangkan melalui kanal YouTube Mahfud MD Official, dalam sesi wawancara bersama host Rizal Mustary.
"Gini, seharusnya UGM tidak perlu terlibat di urusan itu. Tapi nanti kita bisa bahas,” ujar Mahfud, dikutip Rabu 16 April 2025.
“Karena UGM itu yang mengeluarkan ijazah, bukan yang memalsu ijazah," tambahnya.
Ia menekankan bahwa posisi UGM hanyalah sebagai pihak yang menerbitkan ijazah pada tahun kelulusan Jokowi, dan tidak bertanggung jawab atas segala bentuk spekulasi atau perdebatan yang berkembang di publik terkait keberadaan dokumen tersebut.
Menurut Mahfud, jika publik membutuhkan penjelasan lebih lanjut, seharusnya yang bersangkutan, dalam hal ini Presiden Jokowi, yang memberikan klarifikasi.
UGM cukup menunjukkan bukti bahwa ijazah memang telah dikeluarkan oleh kampus tersebut.
"UGM tinggal mengatakan, 'loh saya sudah mengeluarkan dulu ijazah ini'. (Tinggal Pak Jokowi) menjelaskan kepada publik kenapa kok sampai hilang dan sebagainya,” ujar Mahfud.
“Sebenarnya UGM kan tinggal menyelesaikan, ini saya sudah selesai. Gitu aja. Silakan, kalau tidak percaya kan gitu," jelas Mahfud.
Mahfud juga tidak mempermasalahkan apabila masyarakat terus menggali dan mempertanyakan keabsahan ijazah tersebut.
Baginya, hal itu wajar, apalagi jika berkaitan dengan prinsip transparansi yang dijamin oleh undang-undang.
Ia menegaskan bahwa keterbukaan informasi adalah hak publik, dan jika ada pihak yang merasa informasi tersebut harus dibuka, maka mekanisme hukum telah tersedia, termasuk melalui Komisi Informasi.
"Ndak salah. Karena ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Kalau tidak mau buka, ada pengadilan yang namanya Komisi Informasi,” ungkapnya.