Edisi.co.id - Seruan boikot terhadap stasiun televisi Trans7 tengah menguat di media sosial. Pemicunya adalah tayangan dalam program Xpose yang dianggap melecehkan martabat kiai dan institusi pesantren. Kecaman datang dari berbagai kalangan, termasuk politisi dan tokoh agama, yang menilai narasi dalam tayangan tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merendahkan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia.
Salah satu suara paling vokal datang dari Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq. Ia menyatakan penyesalan dan kecaman keras terhadap tayangan tersebut, yang menurutnya menggambarkan kiai sebagai sosok yang hidup bermewah-mewahan, meminta uang dari santri, dan menjadikan pesantren sebagai ajang eksploitasi ekonomi.
“Narasi seperti itu jelas sangat merugikan dan menyakitkan bagi para kiai, santri, serta masyarakat pesantren. Kiai adalah figur moral dan spiritual yang telah berjasa besar bagi bangsa ini. Menyudutkan mereka sama saja dengan melecehkan tradisi keilmuan dan keagamaan yang menjadi fondasi masyarakat Indonesia,” tegas Maman dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Tayangan yang dimaksud menampilkan cuplikan para santri dan jemaah yang menyalami seorang kiai yang duduk, serta momen kiai turun dari mobil mewah. Namun, yang memicu kemarahan publik adalah narasi suara yang menyebut santri “rela ngesot” hanya untuk menyalami kiai dan memberikan amplop berisi uang. Narator bahkan mengomentari bahwa kiai yang sudah kaya seharusnya memberi amplop kepada santri, bukan sebaliknya.
Baca Juga: Tanggap Cepat, PMI Jakarta Utara Bantu Penyintas Kebakaran di Penjaringan
Menurut Maman, narasi tersebut mencerminkan ketidaktahuan dan ketidakpekaan media terhadap budaya dan nilai-nilai pesantren. Ia mendesak Trans7 untuk segera meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat, khususnya kalangan kiai dan santri, serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tim produksi yang terlibat.
“Trans7 harus meminta maaf secara terbuka dan melakukan evaluasi internal terhadap tim kreatif maupun redaksi yang memproduksi tayangan itu. Media memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga etika dan sensitivitas terhadap nilai-nilai keagamaan,” ujarnya.
Maman juga menekankan bahwa kebebasan pers tidak boleh digunakan sebagai alat untuk melecehkan simbol-simbol agama atau tokoh yang dihormati masyarakat. Justru, media seharusnya menjadi sarana edukasi dan perekat sosial, bukan sumber perpecahan atau kebencian.
Seruan boikot terhadap Trans7 pun menggema di berbagai platform media sosial. Tagar #BoikotTrans7 dan #HormatiKiai menjadi trending topic, dengan ribuan warganet menyuarakan kekecewaan dan menuntut pertanggungjawaban dari pihak stasiun televisi.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Trans7 belum memberikan pernyataan resmi terkait kontroversi tersebut. Namun, tekanan publik terus meningkat, dan banyak pihak menunggu langkah konkret dari stasiun televisi tersebut untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh insan media: kebebasan berekspresi harus sejalan dengan tanggung jawab sosial dan penghormatan terhadap keberagaman nilai di Indonesia.