“Kami tidak mau berkepanjangan sehingga kerugian itu tidak kami segera kembalikan," tegasnya.
Sejauh ini, Kejagung telah menerima pengembalian dari lima anak perusahaan Wilmar Group dengan total Rp13,25 triliun. Uang tersebut berasal dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Perjalanan Panjang Kasus Korupsi CPO
Kasus ini bermula pada periode 2021 hingga 2022, saat izin ekspor minyak sawit diberikan secara melanggar ketentuan.
Setelah melalui penyelidikan panjang, Kejagung menetapkan tiga korporasi besar sebagai tersangka pada Juni 2023, yakni PT Wilmar Group, PT Musim Mas, dan PT Permata Hijau Group.
Dalam amar putusan Mahkamah Agung, PT Wilmar Group dihukum membayar uang pengganti Rp11,8 triliun, PT Musim Mas Rp4,89 triliun, dan PT Nagamas Palmoil Lestari (anak perusahaan Permata Hijau) Rp937,5 miliar.
Selain itu, putusan bebas sempat dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Maret 2025 sebelum akhirnya Kejagung menemukan adanya dugaan suap senilai Rp60 miliar yang memengaruhi putusan tersebut.
Dugaan Suap di Balik Vonis Bebas
Dalam kasus ini, Kejagung mengungkap ada pemufakatan antara pengacara korporasi dan sejumlah hakim.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menjelaskan uang suap sebesar Rp60 miliar dibagikan kepada tiga hakim untuk memuluskan vonis bebas.
“Setelah menerima uang Rp4,5 miliar, oleh Agam Syarif Baharuddin dimasukkan ke dalam goodie bag dan dibagi kepada tiga orang hakim,” ujar Abdul Qohar di kantor Kejagung, pad 14 April 2025 lalu.
Empat orang kini telah ditahan, termasuk mantan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta serta dua pengacara yang menjadi perantara suap.
Hingga kini, Kejagung memastikan kasus ini belum berakhir dan akan terus menindak siapa pun yang terlibat.***