Edisi.co.id, Jakarta - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat, menghadiri sekaligus menyampaikan sambutan penutupan pada International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy (ICCCRL) yang berlangsung di Jakarta, Rabu (12/11).
“Atas nama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas partisipasi aktif dan pandangan berharga dari seluruh peserta konferensi ini. Dalam dua hari pelaksanaannya, konferensi ini bukan hanya menjadi ajang pertukaran gagasan, tetapi juga wujud nyata bahwa pendidikan adalah kunci dalam menghadapi tantangan masyarakat global,” ujar Wamen Atip dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Konferensi internasional yang dihadiri 220 peserta, termasuk 70 perwakilan dari luar negeri, menunjukkan tekad bersama untuk mencari solusi atas berbagai persoalan lintas budaya dan agama. “Kemendikdasmen dan Institut Leimena telah menunjukkan partisipasi semesta. Pertemuan ini meyakinkan kita bahwa dunia yang damai, saling menghormati, dan bermartabat dapat dicapai,” tambahnya.
Wamen Atip juga mengutip pemikiran para filsuf dunia seperti Heidegger, Habermas, Levinas, dan Rumi untuk menggambarkan tantangan kemanusiaan di era digital. Menurutnya, literasi keagamaan lintas budaya (Cross-Cultural Religious Literacy/CCRL) bukan sekadar pengetahuan tentang ajaran agama lain, melainkan kemampuan untuk berempati, berdialog kritis dan konstruktif, serta mendengarkan dengan hati.
Baca Juga: Di Podcast Halal with Expert, Wamen PKP Fahri Hamzah Tegaskan Halal adalah Konsep yang Menjaga Bumi
“Sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rumi, ‘Beyond right and wrong, there is a field. I’ll meet you there.’ Itulah esensi CCRL: menciptakan ruang pertemuan tanpa prasangka,” tuturnya.
Pendidikan sebagai Ruang Hidup yang Menumbuhkan Kebinekaan
Wamen Atip menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi ruang hidup yang mencerminkan denyut keberagaman. Ia menyoroti peran guru sebagai agen perdamaian dan perekat sosial melalui program pelatihan CCRL yang sejak 2021 telah melibatkan ribuan guru dari berbagai agama di Indonesia.
“Mereka adalah pahlawan yang membangun jembatan kepercayaan, tidak hanya memahami perbedaan tetapi mempraktikkan empati,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Astacita Presiden Prabowo serta delapan dimensi profil lulusan yang tengah dikembangkan Kemendikdasmen bertujuan membentuk peserta didik yang beriman, berkarakter, kritis, kreatif, kolaboratif, mandiri, sehat, dan komunikatif. Dalam konteks tersebut, CCRL menjadi fondasi utama pendidikan karakter di tengah realitas pluralisme. Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (G7KAIH) dan penguatan peran Guru Wali juga disebut sebagai langkah konkret membangun kebiasaan baik, empati, dan kepekaan sosial sejak dini.|
Baca Juga: Kisah Haru Ustaz Budiman Bawa Donasi Rp430 Juta untuk Palestina dari Gerai LAZ PERSIS Tangerang
Penguatan Karakter di Era Digital
Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Kapuspeka), Rusprita Putri Utami, yang menjadi pembicara dalam Breakout Session bertema “Character Building to Strengthen Social Trust in a Diverse Society”, menegaskan pentingnya proses pembiasaan dalam pembentukan karakter generasi muda yang hidup di era digital dan keberagaman global.
“Anak-anak kita, Generasi Z dan Alpha, tumbuh dalam paparan luar biasa terhadap keragaman melalui media sosial dan dunia digital. Karena itu, menanamkan karakter toleran dan menghargai perbedaan sejak dini sangat penting,” ujar Rusprita.
Ia menambahkan bahwa pembiasaan positif merupakan kunci pembentukan karakter berkelanjutan. “Kebiasaan membentuk karakter, dan jika dilakukan secara kolektif akan membentuk peradaban. Ini bukan hanya tugas sekolah, tetapi tanggung jawab seluruh ekosistem pendidikan—pemerintah, keluarga, masyarakat, dan media,” tegasnya.
Rusprita juga menjelaskan bahwa penguatan karakter sudah dimulai sejak hari pertama anak masuk sekolah melalui pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Ramah, serta didukung oleh Modul Kebinekaan Global yang telah diakses lebih dari 285 ribu guru di seluruh Indonesia. Modul ini membantu guru menanamkan nilai toleransi melalui kegiatan kreatif, permainan edukatif, dan media pembelajaran digital.
Baca Juga: MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Mensesneg: Putusan Final dan Binding
“Aktivitasnya tidak hanya memperkenalkan lingkungan sekolah, tetapi juga membantu anak mengenal dirinya, teman-teman barunya, dan gurunya,” imbuhnya.