Kepala BGN itu menjelaskan efeknya tidak ringan. Dari 11.640 penerima manfaat yang terdampak, sebanyak 636 orang harus menjalani rawat inap, sementara 11.004 lainnya mendapat perawatan rawat jalan.
Data ini diperkuat penjelasan lanjutan dalam RDP daring yang digelar di hari yang sama.
Dadan menilai, evaluasi tata kelola di lapangan menjadi keharusan. Ia menekankan kewajiban percepatan Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi, HACCP, serta sertifikat halal di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG.
“Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, jumlah SPPG yang sudah memiliki SLHS hingga saat ini sebanyak 1.619," sebutnya.
"Percepatan sertifikasi ini tergantung pada kebijakan pemda di masing-masing wilayah,” imbuh Dadan.
Selain sertifikasi, Dadan menyoroti aspek operasional di dapur MBG. Seluruh SPPG diwajibkan memakai alat sterilisasi ompreng, rapid test untuk mengantisipasi keracunan, hingga penggunaan air bersertifikat dalam kegiatan memasak.
Pelatihan berkala bagi penjamah makanan juga diwajibkan agar standar higienitas benar-benar dipahami.
Di tingkat implementasi, BGN telah menjangkau 41,6 juta penerima manfaat melalui 14.773 SPPG dengan realisasi anggaran Rp43,4 triliun hingga 11 November 2025.
Kendati demikan, besarnya operasi ini tidak menutup celah jika pengawasan daerah belum berjalan optimal.
Anak-anak Dinilai Jadi Kelompok Paling Rentan
Kritik keras datang dari Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani.
Netty menilai, kasus keracunan MBG merupakan sinyal kuat perlunya pengawasan lebih ketat di lapangan.
“Ini alarm serius untuk memperkuat aspek keamanan pangan dan tata kelola pelaksanaan program MBG di lapangan,” kata Netty kepada awak media di Jakarta, pada Kamis, 13 November 2025.
Netty lantas menggarisbawahi, anak-anak adalah kelompok paling rentan.
“Anak-anak penerima MBG adalah kelompok rentan. Pemerintah daerah dan instansi teknis perlu memastikan dapur yang belum laik segera dibina atau dihentikan sementara,” ujarnya.