Edisi.co.id - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, LaNyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan ada empat konsekuensi kenegaraan yang harus dicermati oleh DPD RI terhadap lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023.
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam Rapat Gabungan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI yang membahas Inpres Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat, di Ruang Majapahit, Gedung B DPD RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/4-23).
Rapat gabungan menghadirkan dua narasumber yakni pengamat politik Ichsanuddin Noorsy dan akademisi UI Dr Mulyadi, M.Si. Hadir juga Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono, seluruh pimpinan alat kelengkapan dewan, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero, Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir.
Baca Juga: Polda Metro Jaya Tangkap Para Pelaku Pengeroyokan Debt Collector
"Mengapa saya gunakan kata konsekuensi kenegaraan, karena memang isi dari Instruksi Presiden ini berdampak kepada kenegaraan Indonesia. Sehingga yang perlu kita bedah, pelajari dan pahami di sini adalah seberapa jauh konsekuensi kenegaraan bagi Indonesia atas Inpres Nomor 2 tersebut?" katanya.
Menurut LaNyalla, yang pertama perlu dicermati bahwa Inpres tersebut memerintahkan kepada 19 institusi negara, yang terdiri dari Kementerian, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP-HAM.
Dimana di dalam Diktum Pertama huruf (a) tertulis; memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana.
Baca Juga: Rekomendasi TPP-HAM Dinilai Bias, dan Picu Ketegangan Baru
"Ini penting untuk kita gali, tentang seberapa luas makna kata memulihkan hak korban? Karena salah satu yang diperjuangkan PKI saat itu, dalam konteks peristiwa tahun 1965-1966 adalah menawarkan ideologi komunisme sebagai alat mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia," papar LaNyalla.
Sementara, ditegaskan olehnya, bangsa ini telah bersepakat, bahwa Pancasila adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
"Bahkan, saya pribadi menilai bahwa kita masih harus memperjuangkan agar Pancasila dapat kembali menjadi norma hukum tertinggi dalam konstitusi kita, yang telah mengalami perubahan di tahun 1999 hingga 2002 silam," lanjutnya.
Baca Juga: Resmikan GKI Yasmin, Wamenag: Negara Hadir Jamin Hak Konstitusional Umat
Konsekuensi kedua, kata LaNyalla, dalam Inpres itu jelas menugaskan alat negara, yaitu TNI dan Polri untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP-HAM. Sedangkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, dalam menjalankan tugasnya berdasarkan atas kebijakan dan keputusan politik negara.
"Pertanyaannya, apakah Inpres sudah cukup sebagai konsideran atau payung hukum untuk sebuah kebijakan dan keputusan politik negara? Ini perlu kita kaji dengan jernih dan cermat," paparnya.