berita

Menyikapi Program Moderasi Secara Moderat

Selasa, 9 November 2021 | 07:21 WIB
Penulis: Ketua STAIPI Jakarta Dr. Jeje Zaenudin - Foto: Henry Lukmanul Hakim

Kedua. Bahwa moderasi yang diprogramkan itu adalah moderasi pada tataran “beragama” bukan pada pada tataran “agamanya”. Secara “agama” Islam tidak perlu dan tidak butuh upaya pemoderatan, sebab agama Islam sudah moderat, adil, seimbang, dan benar dengan sendirinya. Maka jika ada upaya memoderasikan “ajaran agama Islam” adalah suatu upaya penghinaan dan “kurang ajar” terhadap Tuhan. Moderasi hanya mungkin diperlukan pada tataran “pemahaman” dan “pengamalan beragama” ketika sebagian pemeluk agama, termasuk dari pemeluk Islam, sudah muncul paham-paham dan praktek beragama yang berlebih-lebihan atau ekstrim pada masalah-masalah tertentu. Baik masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, dan lainnya.

Umpamanya, Islam mengajarkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW secara mutlaq melebihi kecintaan kita kepada diri sendiri, orang tua, anak-anak, bahkan dari semua manusia yang ada di muka bumi. Ini ketetapan ajaran Islam yang pasti sudah moderat. Tetapi jika atasnama kecintaan kepada Nabi lalu berlebihan dalam meyakini Nabi Muhammad seakan seperti Malaikat, kemudian mengagungkannya seperti mengagungkan Allah atau seperti orang-orang yang menganggap sebagian Nabi adalah anak Tuha yang kuburnya boleh disujudi dan arwahnya boleh disembah-sembah dan diminta-minta dalam doa, maka semua itu menjadi ajaran dan praktek beragama yang ekstrim yang harus dikembalikan kepada kemoderatannya.

Atau ketika Islam mewajibkan amar makruf nahy munkar dalam kehidupan, baik kepada rakyat biasa ataupun penguasa, itu adalah ajaran Islam yang moderat. Tetapi ketika atasnama melaksanakan amar makruf nahyi munkar lalu tidak mengenal batas kesopanan dan penghormatan kepada orang lain sehingga semua yang berbuat salah langsung divonis sesat, dimusuhi bahkan diserang, karena berkeyakinan bahwa orang yang berbuat dosa dan maksiat adalah kafir dan murtad yang boleh diperangi dan dibunuh. Ini juga praktek yang ekstrim yang harus diluruskan kepada keadilan dan keseimbangannya.

Baca Juga: PP Salimah Menolak Permen Dikbudristek Tentang Penanganan Kekerasan Seksual

Demikian juga Islam mengajarkan berdakwah sekaligus mengajarkan toleransi dan melarang memaksa orang lain untuk memeluk Islam dengan cara kekerasan. Ini ajaran Islam yang moderat. Tetapi ketika atasnama toleransi itu kemudian jadi dipahami bolehnya mencampuradukan peribadatan antar agama, maka kemoderatan toleransi telah berubah menjadi paham dan praktik yang ekstrim yang harus dikembalikan kepada kemoderatan.

Begitu pula halnya Islam menghormati kedudukan akal, tetapi tidak boleh ekstrim memperturutkan akal dalam segala urusan agama; Islam menghormati adat istiadat dan tradisi lokal yang baik yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariat, tetapi tidak berarti segala tradisi boleh diterima dan dipraktikan manakala jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Demikian seterusnya.

Ketiga. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada tataran aktual, ada fakta dan fenomena keekstriman dalam paham dan praktek beragama, dan ini tidak boleh dialamatkan kepada pemeluk Islam saja hanya karena di Indonesia sebagai agama mayoritas. Sebab ekstrimitas beragama bisa terjadi pada penganut agama apapun: Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, dan agama lainnya bahkan pada penganut paham ateis-komunis bisa lebih ekstrim lagi.

Baca Juga: Hari Pahlawan, KAI Gratiskan Tiket untuk Tenaga Kesehatan, Guru, dan Veteran, Berikut Cara Mendapatkannya.

Sangat ironis, jika kemudian yang terjadi adalah kesalahpahaman dan kesalahkaprahan dalam memaknai dan mempraktikan “moderasi” beragama itu sendiri. Sehingga atasnama moderasi beragama malah bertindak ektrim kearah liberal dalam penafsiran dan pengamalan ajaran agama.

Dalam konteks ini, menarik untuk dicermati apa yang tertulis pada Prolog buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama pada tahun 2019:
“Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi…” (hlm.7)

“Moderat adalah sebuah kata yang sering disalahpahami dalam konteks beragama di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak teguh pendiriannya, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam meng¬amalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain.

Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan.

Baca Juga: SMP PCI Jadikan MABIP Sebagai Pembentukan Karakter Siswa

Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadap-hadapkan secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya.

Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat…” (hlm. 12-13)

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB