edisi.co.id - Seperti biasa, selepas menunaikan shalat subuh, saya jogging di sekitar lingkungan rumah. Sebelum pulang, saya seringkali mampir dulu di warung kopi dekat rumah. Aktivitas ini hampir saban hari saya lakukan, kecuali jika ada agenda yang mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi.
Di warung kopi, saya biasa berbincang-bincang dengan pengunjung lainnya. Berbagai topik kami bahas, mulai soal ekonomi, keluarga, hingga politik. Khas obrolan warung kopi. Kawan diskusi saya umumnya beragam, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Obrolan kami biasanya diiringi alunan musik dangdut atau koplo seperti umumnya yang sering diputar di warung kopi.
Pagi itu, ada suasana berbeda di warung kopi dari biasanya. Saya lihat banyak anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, ikut ngopi bersama saya. Saya amati wajah mereka, tak satupun yang saya kenal. Sepertinya mereka orang baru di wilayah tempat tinggal saya. Apalagi ketika saya mendengar obrolan mereka yang menggunakan bahasa daerah tertentu, yang sebagian saya paham dan sebagian tidak.
Setelah beberapa saat menyimak keasyikan mereka ngobrol, saya pun tertarik untuk ikut nimbrung bersama mereka. Saya mengawali pembicaraan dengan mengenalkan diri dan menyampaikan jika saya tinggal di sekitar warung kopi tersebut. Saya mengatakan, baru kali ini melihat mereka, dan bertanya apakah mereka berasal dari luar daerah. Secara serentak mereka menjawab ya, sembari menyebut nama salah satu daerah yang terletak di wilayah Jawa Tengah.
Baca Juga: Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Al-Iman Berlangsung Khidmat
Kami pun terlibat dalam obrolan hangat, sembari menyeruput kopi yang disuguhkan oleh penjaga warung kopi. Saya kemudian melontarkan beberapa pertanyaan tentang keberadaan mereka di daerah tempat tinggal saya. Dimana mereka tinggal dan apa kegiatan mereka selama ini.
Sebut saja Rudi (bukan nama sebenarnya), menyebut mereka tinggal di salah satu rumah yang dijadikan sebagai tempat pelatihan. Saya pun semakin penasaran, tempat pelatihan apakah itu gerangan? Namun rasa penasaran saya langsung terjawab ketika Rudi mengatakan bahwa mereka mengikuti pelatihan untuk diberangkatkan ke Negeri Sakura sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Rudi dan kawan-kawannya saat ini sedang dipersiapkan sebelum dikirim ke Jepang sebagai tenaga kerja. Mereka akan mengisi berbagai pekerjaan yang dibutuhkan di negeri Naruto tersebut. Umumnya sebagai buruh di tempat pemotongan hewan, pasar ikan, peternakan, restoran, taman, dan sebagainya.
Baca Juga: Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Al-Iman Berlangsung Khidmat
Meski profesi yang akan mereka geluti bukan pekerjaan kantoran yang didambakan oleh banyak anak muda, tapi saya melihat optimisme yang begitu kuat dari raut wajah Rudi dan kawan-kawannya. Mereka berharap, keberangkatan mereka untuk bekerja ke Jepang akan meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Rudi menyadari, mencari pekerjaan di Indonesia saat ini bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi bagi orang seperti dirinya yang hanya mengandalkan ijazah SLTA. Belum lagi masalah rendahnya upah buruh. Dia pesimis akan mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang memadai jika hanya bekerja di Indonesia.
Sebagai anak muda dan belum berumah tangga, Rudi merasa tidak terlalu berat untuk meninggalkan Indonesia. Demi masa depan yang lebih baik, dia akan berjuang keras di negeri orang, menabung dan mengumpulkan modal, untuk kembali ke Indonesia guna membangun kehidupan rumah tangga.
Baca Juga: Upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Al-Iman Berlangsung Khidmat
Namun, lain lagi dengan Ridwan. Dia akan meninggalkan Indonesia dalam kondisi telah berumah tangga. Dia telah memiliki seorang anak, dan keluarganya saat ini tinggal di kampung halaman. Meninggalkan anak dan istri tentu bukan sesuatu yang mudah bagi Ridwan. Namun dia seperti tidak memiliki pilihan lain, selain berangkat ke Jepang demi memperbaiki ekonomi keluarga.