Edisi.co.id. - Seni pertunjukan teater di Jakarta telah berkembang sejak awal abad ke-19. Penelitian terdahulu menyebut bentuk seni teater di Jakarta lebih dekat pada bentuk kemelayuan, seperti diketahui dari munculnya tonil, wayang dermuluk, wayang sunendar, hingga kemudian muncullah lenong.
Penelitian mula-mula, seperti yang dilakukan oleh antropolog CD Grijns, tidak telalu jelas membahas lenong, tapi jelas bahwa lenong berkembang sejak 1960-an. Penelitian lanjutan menyebut ada peran saudagar Tionghoa/Cina dalam perkembangan lenong kemudian.
Pada awal berdirinya TIM, seniman lenong dan topeng secara rutin mengisi pertunjukan di pusat kesenian pertama di Jakarta tersebut. Maka, sohorlah nama Bokir, Nasir, Nori, dan Anen.
Sejarah mencatat, sejak 1969-1988 berkali-kali diadakan pertunjukan lenong di TIM oleh sutradara SM Ardan, Sumantri Sastrosuwondo, Achmad MS, Firman Muntaco, dan lain-lain.
Grup lenong dan topeng pun aktif manggung di TIM. Jakarta sebagai kota metropolitan dan ibu kota menyimpan peran penting dalam pengembangan seni Indonesia. Budaya Betawi yang meltingpot pun membaur dan salah satunya tecermin melalui perkembangan teater. Perlu ada perubahan dan mengadopsi nilai-nilai yang lebih intercultural. Selama ini teater rakyat Betawi seolah jalan di tempat dan tidak memperhatikan perkembangan zaman yang ada.
Perubahan senantiasa terjadi dalam perkembangan zaman, baik sebagai tuntutan masyarakat maupun perkembangan kreativitas. Proses revitalisasi bisa seperti Kombet (komedi Betawi). Menurut Saiful Amri (pengagas Kombet), mengatakan Kombet merupakan rekacipta lenong ataupun bentuk pertunjukan pewarisan maupun bentuk ekspresi kontemporer.
Demikian revitalisasi perlu dalam upaya mempertahankan, baik sebagai tradisi komunitas maupun mengarah ke adaptasi kontemporer untuk masyarakat yang heterogen. Julianti Paranim menyebut “Apabila konteks multikutural bisa dimanfaatkan dengan baik, bisa menjadi masukan interkultural, maupun transkultural yang berbeda zaman menjadi hibrida, mengangkat harkat pergaulan antar komunitas maupun bangsa, serta mengembangkan harmonisasi dalam pergaulan dunia.”
Imbasnya, kesenian tradisional Betawi terangkat sebagai kesenian nasional dan siap tahu, bisa menjadi warisan dunia serta model yang ramai dipacu kini.
Syamsudin Bahar Nawawi sebagai Ketua Teater Pangkeng setelah Alm. Yamin Azhari, mengatakan diskusi ini dibuat untuk mencari format pementasan teater yang baru dan melebur dengan masyarakat. “Sekaligus mengenang almarhum Yamin Azhari, pemimpin dan sutradara Teater Pangkeng, Sekaligus Pendiri Teater Pangkeng yang wafat pada November 2019 yang lalu.
Sebagai penyelenggara, Teater Pangkeng menggandeng Lembaga Kebudayaan Betawi dan Komunitas Literasi Baca Betawi mengadakan diskusi bertema “Mengenang Yamin Azhari:
Membicarakan Teater Rakyat Betawi agar Tak Asyik Sendiri”
Hadir sebagai pembicara Nendra WD, seniman/pengasuh teater; Julianti Parani PhD, budayawan/pengajar senior purnabakti IKJ; dengan moderator DR. Syaiful Amri, pengagas Komedi Betawi.
Sekilas Teater Pangkeng:
Teater Pangkeng didirikan berawal dari kerinduan untuk berteater para pekerja seni yang sudah aktif di dunia pertelevisian. Para penulis scenario, penata artistik, kameramen, dan pemain film/sinetron ini merasa, apabila teater diberi perhatian lebih, pasti akan mendapat perhatian dari penonton serta dunia usaha. Para pekerja seni ini berupaya mengamalkan sejumlah ilmu yang masing-masing mereka miliki dalam melatih sejumlah anak-anak muda dengan prinsip "Berteater untuk belajar hidup dan mencari kehidupan".
Kemudian pada bulan Januari 2006, berdirilah Teater Pangkeng, mengambil dari Bahasa Betawi yang berarti “kamar”. Pertimbangannya, sebagian besar anggota teater merupakan orang Betawi, serta berasal dari teater modern yang ingin mengangkat tradisi teater rakyat sesuai dengan perkembangan zaman.
Pangkeng menjadi ruang yang sangat pribadi, tempat menjalin hubungan cinta, kasih sayang, persaudaraan, dan proses kreatif untuk melahirkan karya-karya yang bermutu dan berkualitas.
Tentu dengan tetap memakai pakem kesenian tradisional yang sudah ada. Karna itu Moto Teater Pangkeng adalah Teater Kasih Sayang.
PANGKENG mempunyai maksud dan tujuan memelihara danmengembangkan serta melestarikan berbagai jenis seni dan budaya Betawi, sehingga seni dan budaya Betawi tetap ada dan berkembang, serta dikenal dan dicintai oleh masyarakat Betawi sendiri pada
khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sejak 2008, Teater Pangkeng telah ikut berpartisipasi dalam festival teater dan berkali-kali mengadakan pementasan tunggal,
Hingga saat ini.(Ihm)