Oleh : Haidar Alwi Institute
Edisi.co.id - Sebuah clip video yang dikirim ke sebuah WAG menayangkan suatu acara yang memadukan agama dan budaya. Musik "relijius" yang ditayangkan di dalamnya sangat menakjubkan. Yang tak kalah menarik dari itu adalah tausiyah di dalamnya yang kontennya mengandung penyadaran tentang kearifan lokal alias Islam Nusantara.
Islam adalah agama. Agama apapun tak pernah menjadi penjajah. Tak ada Islam penjajah. Islam hanyalah ajaran. Manusia mungkin melakukan penjajahan atas nama agama. Kita tak bisa memungkiri Fakta sejarah yang menunjukkan bahwa dinasti Umawit dan Abbasit melakukan invasi dan aneksasi ke sejumlah wilayah di Timur Tengah dan Eropa. Tapi itu bukanlah representasi Islam. Islam memang dijadikan kedok penjajahan oleh dinasti-dinasti korup Umawit dan Abasit.
Setiap bangsa dan ras berhak bangga dengan kodrat dan identitasnya tanpa merendahkan bangsa dan ras lain. Itulah yang membedakan nasionalisme dengan chauvinisme dan fasisme.
Islam Nusantara bukan Islam versi nusantara karena Islam hanyalah Islam. Islam hanya punya satu versi, yaitu Islam Muhammad tanpa atribut waktu dan tempat tertentu bahkan mazhab. Islam Nusantara adalah Islam yang diimplementasikan dalam kultur khas masyarakat yang berada di nusantara, Nusantara tak direpresentasi oleh satu daerah dan satu suku. Busana nusantara, misalnya, adalah apapun yang dipakai di nusantara dulu, kini dan mendatang meliputi blankon, songkok, sorban, beskap, topi, kebaya, abaya, sarung, jubah, tinktop, celana panjang, celana pendek dan lainnya.
Tak ada yang berhak mencemooh Arab, Persia, China dan lainnya hanya karena menerima Islam dengan kultur Jawa atau Nusantara. Mencemooh satu ras berarti memasukkan semua manusia dari ras itu dalam cemooh.
Islam ala Arab adalah Islam yang diterima sesuai dengan kultur Arab oleh orang-orang di wilayah Arab. Islam ala Nusantara atau ala Indonesia adalah Islam yang diterima sesuai dengan budaya dan karakter Indonesia. Tidak ada yang salah dengan itu.
Dengan kata lain, menolak “Islam Arab”-nya bangsa-bangsa Arab berarti menolak “Islam Nusantara”-nya bangsa-bangsa di Nusantara. Pandangan rasional ini berlaku rata dan universal. Menolak zionisme dan Israel, misalnya, tak berarti menolak apalagi merendahkan ras dan agama Yahudi. Bila toleran terhadap ras Yahudi, mestinya toleran terhadap ras Arab dan lainnya.
Di negeri yang tak berasas keyakinan tertentu tapi berasas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika setiap warga yang memakai jubah tak patut dicemooh "ngarab", yang mempirangkan rambut dan memakai tanktop tak patut dicibir "ngebule", yang kecanduan artis kemayu Korea tak patut dibully "sok ngorea" atau amine dibilang sok Jepang dan lainnya. Yang patut ditolak adalah intoleransi dan diskriminasi sektarian dan rasial.