Oleh: Dr. Adian Husaini
Edisi.co.id - “Kemerdekaan Kedua, Perlukah?” adalah judul artikel yang pernah saya tulis di Harian Kompas, tahun 2001. Artikel itu saya tulis, menanggapi tulisan Rizal Ramli di Harian Kompas, 26 Desember 2001, yang berjudul: “Krisis Argentina dan Indonesia Mei 1998, Korban Kebijakan IMF”.
Dalam artikelnya, Rizal Ramli membuat catatan penutup, "Pada awal abad ke-21 ini, sudah waktunya bangsa kita menyatakan diri untuk bertekad melakukan "Gerakan Kemerdekaan Kedua", sehingga dapat menjadi bangsa maju dan besar di Asia. Jika tidak, bangsa ini hanya akan menjadi permainan negara-negara maju dan hanya akan menjadi nation of coolies and coolies among nations. Soekarno dan Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara politik pada 17 Agustus 1945, sudah saatnya memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia berani menyatakan diri merdeka secara ekonomi."
Berikut ini ringkasan gagasan “Kemerdekaan Kedua”, yang pernah saya tulis tahun 2001 tersebut. Tulisan itu penting kita baca kembali, mengingat jumlah Utang Luar Negeri kita yang terus meningkat!
Tentukan "common enemy"
Tahun 1945, saat menyatakan kemerdekaannya, ada tantangan nyata yang dihadapi bangsa Indonesia: mengusir penjajah dan menata bangsa. Semangat berbuat untuk negara begitu besar, sehingga masing-masing komponen bangsa bersedia melakukan berbagai kompromi, termasuk hal-hal sebelumnya menjadi perdebatan sengit. Selain, tentu saja, ada pimpinan yang diterima secara aklamasi oleh elite bangsa, yaitu Soekarno-Hatta.
Tentu hanya mimpi, mengharapkan situasi seperti tahun 1945 itu kembali di era saat ini. Namun, hakikatnya, kondisi Indonesia, setelah 56 tahun merdeka, tidak beranjak jauh dari posisi "terjajah", sebagaimana abad-abad sebelumnya.
Kolonialisme klasik hilang digantikan "imperialisme modern". Imperialisme, menurut Nohlen (1994), adalah politik yang bertujuan menguasai dan mengendalikan bangsa-bangsa lain di luar batas negaranya, baik secara langsung (melalui perluasan wilayah) atau secara tidak langsung (mendominasi politik, ekonomi, militer, budaya). Bangsa yang dikuasai itu sebenarnya tidak suka dan menolak tekanan serta pengaruh negara imperialis.
Gagasan "kemerdekaan kedua", akan menjadi relevan dan masuk akal jika bangsa ini dapat bersepakat untuk merumuskan siapa "musuh bersama" (common enemy) kita. Siapa musuh bersama itu? IMF? Bank Dunia? Amerika? Osama bin Laden? Koruptor? Atau siapa? Tanpa merumuskan common enemy, mustahil gagasan "kemerdekan kedua" akan dapat diterima bangsa ini. Simak apa yang dilakukan AS dan sekutunya, setelah berakhirnya Perang Dingin. Mereka segera merumuskan, siapa musuh bersama mereka. Bahkan untuk itu, mereka tak segan-segan merumuskan musuh bersama, agar "ideologi" dan "kepentingan" mereka menjadi sah eksistensinya.
Utang luar negeri!
Kasus Argentina yang dipicu ketidakberdayaan membayar utang luar negeri, dapat dijadikan "titik awal" merumuskan common enemy bagi Indonesia. Ironisnya, para ekonom juga masih centang-perentang dalam urusan utang luar negeri. Kelompok "Mafia-Barkeley" (neo-liberal) yang masih menguasai posisi kunci di pemerintahan, tetap menjalankan kebijakan utang luar negeri yang "klasik", dan menempatkan Indonesia sebagai good boy, yang rajin membayar utang warisan Orde Baru-termasuk utang-utang najis (odious debt) yang sebenarnya tidak pantas dibayar dengan uang rakyat. Sementara di seberangnya, berdiri para ekonom "pro-ekonomi kerakyatan" yang juga tak kalah vokalnya menyuarakan gagasan-gagasannya lewat media massa. Konflik dua kelompok ekonom itu seperti tak ada habisnya. Padahal, kondisi perekonomian Indonesia terus terpuruk dan amburadul.
Laporan Bank Indonesia (BI) menunjukkan, posisi utang luar negeri total Indonesia pada April 2001, tercatat 139 milyar dollar AS, terdiri dari 72 milyar dollar AS (52 persen) utang pemerintah dan swasta 67 milyar (48 persen). Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 148 milyar dollar AS (1999) dan 141 milyar dollar AS (2000). Namun, beban utang dalam negeri, kini mencapai ?Rp 653 trilyun. Dengan tambahan utang baru dari CGI sebesar 3,15 milyar dollar AS, maka utang luar negeri Indonesia mencapai 140 milyar dollar AS lebih.
Meski menurun, beban pemerintah untuk pembayaran utang masih amat berat. Menurut data Departemen Keuangan, fluktuasi pembayaran utang luar negeri pemerintah adalah Rp 48 trilyun (2001), Rp 108 trilyun (2002), Rp 84 trilyun (2003), dan Rp 71 trilyun (2004). Angka-angka itu hanya untuk pembayaran utang pemerintah, belum termasuk utang swasta. (Kompas, 6/8/2001)
Utang luar negeri sebenarnya bisa dihentikan, asal pemerintah lebih kreatif, memiliki keberanian, dan kemauan dalam membangun ekonomi nasional.
Langkah pertama, pemerintah harus melakukan "revolusi moral" dengan menciptakan kepemimpinan yang merakyat dan memberi keteladanan hidup sederhana. Caranya, melakukan penghematan besar-besaran dalam kehidupan pribadi dan pemerintahan. Hentikan segala bentuk pemborosan devisa dan anggaran negara. Ganti mobil mewah Presiden dan pejabat-pejabat negara dengan "mobil rakyat", yang tidak boros devisa dan boros bahan bakar minyak (BBM). Stop pemborosan kunjungan-kunjungan ke luar negeri berkedok studi banding, dan sebagainya.
Langkah kedua, tinjau seluruh kontrak yang merugikan negara. Hentikan kebijakan yang terlalu membebek kepada IMF, hanya karena mengharapkan dampak psikologis, IMF tidak murka kepada Indonesia. Langkah ketiga, sita seluruh kekayaan pejabat yang jumlahnya tidak wajar, untuk mengurangi beban utang rakyat. Sikap korup dan pola hidup mewah itulah yang menelurkan mental penakut, karena ketakutan terhadap kekuatan "imperialisme" yang kian merajalela dalam berbagai sektor kehidupan.
Sikap pemerintahan baru Argentina yang berani menyatakan default terhadap utang luar negerinya menarik dicermati. Gagasan ini pernah terlontar di Indonesia, agar Indonesia melakukan "moratorium utang" atau semacam debt reducing, bukan sekadar debt restructuring. Padahal, bukan rahasia lagi, utang-utang luar negeri di masa Orde Baru, banyak yang dijadikan ajang korupsi para pejabat atau digunakan untuk proyek-proyek yang tidak produktif.
Bila dalam hal yang satu ini-utang luar negeri-Indonesia bisa "merdeka" maka ada harapan, gagasan "kemerdekaan kedua" dapat mulai diwujudkan. Setidaknya, ada harapan menuju ke sana. Jika tidak, maka jangan pernah berharap, "kemerdekaan kedua" akan terwujud! Jadi, masalahnya lebih merupakan soal "mental", kita punya keberanian atau tidak?
*****
Itulah petikan artikel tentang “Kemerdekaan Kedua” yang pernah saya tulis tahun 2001. Nah, jika di tahun 2001 Utang Luar Negeri kita sebesar Rp 139 milyar USD, maka pada akhir Mei 2020 ini, menurut catatan Bank Indonesia, Utang Luar Negeri kita mencapai 404,7 milyar USD atau sekitar Rp 5.868 triliun (kurs Rp 15.000). (www.kompas.com, 18 Juli 2020).
Maka, “Kemerdekaan Kedua, Perlukah?” (Depok, Juli 2020).
www.adianhusaini.id