berita

Nasib Konversi Bank Nagari

Rabu, 5 Agustus 2020 | 15:05 WIB
IMG-20200805-WA0166

 

Edisi.co.id - Pemerintah Sumatera Barat nampaknya mulai serius mempersiapkan perubahan status Bank Pembangungan Daerah (BPD) di provinsi tersebut ke sistem syariah, yakni Bank Nagari. Pemerhati ekonomi syariah patut bersyukur, karena bank milik Pemerintah Daerah Sumatera Barat ini menjadi BPD ketiga di Indonesia yang akan menjalani konversi ke syariah setelah Bank Aceh dan Bank Nusa Tenggara Barat.


Kabar ini mengemuka setelah Gubernur Sumatera Barat pada akhir tahun lalu mengabarkan bahwa pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) Bank Nagari pada akhir tahun lalu, para stakeholder bersepakat akan melakukan perubahan status bank paling lambat pada 2021. Apalagi saat ini bank kebanggaan masyarakat Sumatera Barat itu sedang mencari Direksi baru periode 2020-2024.

Tentu sangat besar harapan agar Direksi Bank Nagari yang baru mendukung sepenuhnya upaya konversi ke bank syariah ini. Setidaknya Bank Nagari harus melewati tiga proses terlebih dahulu jika ingin berubah status jadi Bank Umum Syariah yakni pra pengajuan izin, pengajuan izin dan pasca izin.

Melihat perkembangan syariah di Indonesia dalam tiga dekade terakhir, memang tidak terlalu menggembirakan. Pangsa pasar perbankan syariah Indonesia masih sebesar satu digit. Namun di tengah stagnansi tersebut, akhirnya market share perbankan syariah berhasil menembus 6,01% atau setara dengan Rp 513 Triliun pada Oktober 2019 menurut data Otoritas Jasa Keuangan.

Jika menilik pada dua bank terdahulu yang sudah melakukan konversi, ini menjadi kekuatan bagi daerah untuk mewujudkan visi pembangunan yang berdasarkan aturan syariat dalam ajaran Islam. Perlu diketahui bahwa ketiga BPD tersebut memang berada di provinsi yang mayoritas Islam, sehingga masyarakat setempat lebih mudah menerimanya. Namun kita juga mesti waspada, karena perubahan status justru bukanlah akhir dari tujuan pengembangan ekonomi syariah. Justru ini adalah awal. Jangan sampai pihak bank mengalami stagnansi dan minim inovasi produk perbankan.

Catatan menarik terjadi pada Bank NTB Syariah, pasca konversi yang dilakukan bank tersebut, asetnya meningkat lebih dari 50% dari Rp 7 Triliun menjadi Rp 10,5 Triliun hanya dalam kurun satu tahun dari 2018 ke 2019. Begitu juga dengan Bank Aceh Syariah, sejak dikonversi menjadi BUS pada 2016, terjadi lonjakan aset yang cukup signifikan pada tahun 2017 sebesar 18% dari Rp 18 Triliun menjadi Rp 22 Triliun. Tentu ada harapan bahwa Bank Nagari juga mengikuti jejak kedua BPD yang terlebih dahulu menjalani konversi ke Bank Syariah tersebut.

Sebagai gambaran, saat ini Bank Nagari memiliki aset sebanyak Rp 23 Triliun.
Harapan Besar pada Konversi Bank Nagari Syariah
​Bagaimanapun, konversi Bank Nagari menjadi syariah sesuai dengan prinsip hidup masyarakat Minang yakni “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Jika selama ini konteks falsafah hidup ini lebih banyak dikaitkan pada ibadah mahdhah, maka saat ini perlu diperluas kepada urusan ibadah ghairu mahdhah atau tentang mualamah. Sebab, semangat perubahan status Bank Nagari menuju syariah tersebut sesuai dengan Kitabullah pada Surat Al-Baqarah ayat 275 yang berkaitan dengan pelarangan riba. Memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah bunga bank termasuk riba atau tidak. Namun jika merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 1 tahun 2004 tentang bunga, maka bunga bank dikategorikan riba sehingga harus dihindari sebisa mungkin.

Semangat konversi Bank Nagari Syariah ini juga tidak bisa hanya berhenti disitu saja, harus ada target lain yang harus dicapai setelah perubahan status tersebut. Pertama, perlu adanya optimalisasi pembiayaan di sektor pertanian dan usaha kecil menengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat tahun 2018, sektor pertanian dan perdagangan masing menjadi penopang utama produk domestik regional bruto masing-masing sebesar 23,16% dan 15,31%. Dengan peta usaha ini, Bank Nagari dapat berperan aktif dalam menyalurkan pembiayaan ke masyarakat dengan pembiayaan bagi hasil seperti musyarakah, mudharabah atau muzaraah.

Kedua, adanya penyiapan sumber daya manusia yang paham akad syariah. Tidak bisa dipungkiri bahwa akan ada perubahan pola kerja antara bank konvensional dan bank syariah, salah satunya adalah pemahaman tentang produk yang ditawarkan. Dalam beberapa kasus, masih terjadi di lapangan bahwa costumer service Bank Syariah tidak paham tentang akad produk perbankan yang dijualnya. Ini bisa diatasi dengan pelatihan internal yang dilaksanakan perusahaan.

Ketiga, pembenahan layanan sistem informasi teknologi yang memadai. Kita tidak ingin konversi ini hanya berakhir sebagai perubahan status saja tanpa membawa kebermanfaatan ekonomi bagi masyarakat Sumatera Barat. Sebab ekonomi syariah pun awalnya hadir karena ingin memberikan efek keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia.

Perubahan layanan sistem informasi diperlukan untuk meningkatkan layanan Bank Nagari Syariah nantinya, misalnya dengan penambahan jaringan ATM, pelayanan internet dan mobile-banking, dan literasi keuangan syariah ke masyarakat agar dapat menjangkau pelaku usaha kecil menengah.

Mengenai nasib BPD ini, tentu berpulang pada pemerintah provinsi Sumatera Barat sebagai pemegang saham mayoritas, jajaran komisaris dan direksi serta stakeholder lainnya yang berkepentingan. Sebagai pemerhati ekonomi syariah, harapan besar konversi menjadi Bank Nagari Syariah ini tonggak awal kemajuan daerah serta memberi kebermanfaat ekonomi khususnya bagi masyarakat Sumatera Barat.

Oleh : Zilal Afwa Ajidin
(Mahasiswa S2 Ekonomi Islam UGM dan Ketua Ikatan Mahasiswa Minang Pascasarjana Yogyakarta)

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB