Oleh: Dr. KH. Jeje Zaenudin (Cendekiawan)
Edisi.co.id - Sudah berlalu 3 hari dari peristiwa penyerangan kepada Syekh Ali Jaber di Provinsi Lampung. Polisi telah menahan dan menetapkan pelaku sebagai tersangka. Tetapi motifnya masih terus didalami. Karena keterangannya berubah-ubah ditambah pengakuan keluarganya bahwa pelaku , AA mengidap gangguan jiwa beberapa tahun terakhir sehingga pengakuannya belum bisa dipegang.
Namun demikian, berbagai dugaan, asumsi, hingga analisis terhadap motif penyerangan tersebut telah menjadi pembicaraan yang ramai di media sosial.
Kita tentu tidak ingin masuk ke ranah yang menjadi kewenangan aparat penegak hukum. Biarlah mereka bekerja profesional dan publik punya hak memberi penilaian atas kinerja para penegak hukum tersebut.
Yang manjadi bagian dari kepentingan kita sebagai para aktivis dakwah adalah memahami fakta dan implikasi atau dampak dari kasus penyerangan tersebut.
Pertama. Penyerangan itu secara sepintas saja kita saksikan dari rekaman video dan kesaksian Sekh Ali Jaber jelas sekali targetnya adalah pembunuhan, yaitu dengan sengaja membawa senjata tajam yang dapat membunuh, lalu mentargetkan leher dan dada dan hendak berulang-ulang. Jadi bukan sekedar serangan sporadis yang bertujuan untuk melukai. Secara logika sederhana, serangan seperti ini sulit dipahami jika dilakukan orang tidak waras.
Kedua. Penyerangan dilakukan pada acara yang dihadiri banyak orang. Seakan memberi pesan bahwa pelaku sudah siap menjadi martir mati dikroyok asal rencananya sudah tercapai. Ini mirip dengan doktrin pelaku teror.
Ketiga. Semakin tidak terkuak motif dari penyerangan itu semakin memperbesar pula kekhawatiran, kecurigaan, dan dugaan-dugaan yang berkembang di masyarakat bahwa adanya aktor intelektual bahkan grand design dari pihak dan kelompok tertentu yang mentargetkan para ulama, pendakwah bahkan imam mesjid sebagai sasaran penyerangan.
Keempat. Akumulasi dari kecemasan, kekhawatiran, dan kecurigaan yang diikuti dengan dugaan - dugaan yang diproduksi oleh isu-isu liar yang berkembang di antara kelompok-kelomook masyarakat yang berlangsung lama bahkan bertahun-tahun tentu sangat membahayakan integrasi sosial. Sebab kondisi psikologis seperti itu sangat rawan diperalat oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menciptakan konflik horizontal.
Jadi, secara disadari ataupun tidak, kasus-kasus penyerangan kepada tokoh agama dan kegagalan mengungkap motif sebenarnya karena terkendala psikologis pelaku yang diduga mengalami gangguan jiwa atau karena alasan yang remeh temeh, sangat-sangat menyinggung rasa dan marwah keagamaan para pemuka agama. Bagaimana marwah tokoh agama tidak menjadi rusak dan tidak tersinggung jika opini yang terbangun di media massa bahwa tokoh agama itu menjadi korban penyerangan tidak dalam konteks misi sucinya sedang menjalankan dakwah, amar makruf dan nahyi munkar. Melainkan karena faktor-faktor di luar aktivitas dakwahnya. Ada imam mesjid yang dianiaya sampai meninggal karena cekcok masalah kunci kotak amal mesjid; ada imam mesjid yang ditusuk oleh pasien ruqyahnya, ada ulama yang diserang orang yang terganggu halusinasi; dan sebagainya, sebagaimana yang marak terjadi juga pada awal tahun 2018 lalu.
Belakangan muncul gagasan dan upaya untuk mengungkap penyerang Syekh Ali Jaber itu terkait jaringan teroris atau tidak? Publik tentu semakin gelisah, mungkinkah ada teroris penyerang pendakwah itu teroris anti pemerintah karena korban dituduh pro pemerintah, atau sebaliknya mungkinkah ada dari pihak loyalis pemerintah yang menteror para pendakwah yang distigma radikal dan intoleran? Wallahu A'lam.
Terlepas dari itu semua, yang jelas seluruh rentetan penyerangan itu, besar atau kecil telah berdampak teror psikologis bagi minimal sebagian para ulama dan penggiat dakwah di tanah air.