Komnas PA: Catatan 2020 Darurat Kekerasan Terhadap Anak Memasuki Fase Abnormal, Indonesia diambang ancaman "Lost Generation"

photo author
- Selasa, 29 Desember 2020 | 11:59 WIB
SAVE_20201229_114920
SAVE_20201229_114920

 

Edisi.co.id - Jakarta. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengelurkan surat catatan akhir tahun 2020. Surat yang dikeuarkan di Jakarta, Senin (14/12/2020) dan tandatangani oleh ketua Komnas PA Aris Merdeka Sirait dan Sekretariat Jendral Komnas PA Dhanang Sasongko terkait Darurat Terhadap Kekerasan Terhadapa Anak.

Meski Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menetapkan Indonesia darurat kekerasan Terhadap anak. Kondisi itu tidak beranjak dan menurun bahkan kasus kekerasan anak semakin meningkat terlebih sejak pandemi Covid 19 menyerang Indonesia di awal Maret 2020.

Levelnya semakin mengerikan sehingga tahun 2021 kasus kekerasan terhadap anak tidak lagi pada posisi DARURAT tapi sudah berada di level ABNORMAL dan Indonesia di ambang ancaman "Lost Generation" demikian ditegaskan oleh Dewan Komisioner KOMNAS Perlindungan Anak dalam Konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2020, Senin 14 Desember 2020 di kantor KOMNAS Perlindungan Anak. Kasus kekerasan Terhadap anak di Indonesia yang sudah masuk pada fase abnormal itu menjadi alasan tahun 2021 Indonesia berada di ambang ancaman Lost Generation.

Kondisi ABNORMAL lebih tragis dari DARURA, pasalnya kasus kekerasan terhadap anak tidak lagi sekadar dihadapi pada situasi yang memerlukan penanganan dari semua pihak, tapi bentuk-bentuk kejahatan terhadap anak baik kejahatan seksual, kekerasan fisik, verbal dan lainnya sudah dalam masugk tahap abnormal . Bentuk lain dari ketidakwajaran yang semestinya tidak mungkin terjadi, jutru faktual terjadi ditengah lingkungan sosial anak. Lebih parahnya fakta abnormal itu dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang biasa, demikian juga dimata para penegak hukum situasi abnormal juga masih diletakkan sebagai tindak pidana biasa. Sikap itu juga merupakan sikap abnormal sehingga ancaman tahun 2021 kedepan adalah sangat serius.

Lebih menakutkan lagi fakta menunjukkan bahwa situasi abnormal itu lebih mengerikan dari kondisi darurat. Kalau situasi darurat itu adalah situasional tapi kalau kondisi abnormal yakni kondisi ysng tidak terbayangkan dan terpikirkan Jutsu kenyataannya terjadi. Contoh banyak kasus "geng Rape" (pemerkosaan bergerombol) yakni 1 korban namun pelakunya lebih dari satu misalnya. Kasus ini terjadi dihampir semua tempat. Peristiwa yang sama, korbannya adalah anak yang tidak saja mendapatkan perlakuan keji dari para pelaku dan berakhir pada hilangnya nyawa korban yang dilakukan oleh orang terdekat korban.

Kasus lain yang termasuk abnormal, ada seorang ibu yang memperlakukan anak kandungnya sendiri untuk melampiaskan kemarahannya terhadap suaminya dengan merendam bayinya ke dalam bak mandi sampai meninggal dunia. Bahkan sangat tidak masuk akal, seorang ibu kandung menghukum anaknya dengan cara mengikat anaknya di sebuah pohon dan menyiram tubuhnya menggunakan air panas dan air keras, lalu membakar anaknya hidup-hidup. Fakta lain dari perlakuan abnormal kekerasan terhadap anak dalam kasus insest (persetubihan sedarah) biasanya kasus tersebut terjadi pada anak perempuan yang dirudapaksa Ayah kandungnya , namun fakta lain ada seorang ibu di Sukabumi justru menjadi pelaku kejahatan seksual insest terhadap dua anak laki-laki kandungnya sendiri. "Ini kan sesuatu yang tidak normal lagi". "Tindakan semacam ini sudah terbilang abnormal", dimana seorang ibu yang dari rahimnya sendiri lahir anak tapi memperlakukan anaknya seperti itu bahkan banyak anak berujung meninggal dunia".

Catatan dan fakta-fakta pelanggaran hak-hak dasar anak telah menjadi catatan yang memilukan bagi masa depan anak Indonesia. Banyak anak dihampir disemua tempat mengalami berbagai bentuk serangan kekerasan yang tidak bisa diterima akal sehat manusia alias Abnormal. Situasi anak Indonesia berada pada situasi tidak normal. Okeh karenanya tidaklah berlebihan bila KOMNAS Perlindungan Anak mengatakan bahwa serangan kekerasan terhadap anak dan pelanggaran hak dasar anak yang terjadi sepanjang tahun 2020 ini sudah berada pada level Abnormal dan tahun 2021 Indonesia diambang ancaman kehilangan generasi masa depan atau Lost Generation. Bukankah Komnas Perlindungan Anak harus berani mengajak agar masyarakat, penegak hukum dan semua elemen masyarakat tidak menganggap fakta ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja dan pidananya juga masuk dalam kategori tidak pidana biasa.

Kalau ini tidak disikapi dengan cepat dan tepat, maka sangatlah jelas dan bisa dipastikan bahwa ancaman kehilangan generasi tersebut bakal terjadi di Indonesia bahkan dalam waktu singkat akan berpengaruh terhadap runtuhnya ketahanan keluarga Indonesia. Sesungguhnya perangkat hukum dan regulasi serta aturan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak sudah cukup lengkap. Bahkan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Hak Anak tahunb1990, Indonesia merupakan negara yang memiliki perangkat hukum paling banyak dan lengkap untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Program edukasi, preventif, deteksi dini dan intervensi kadus juga sudah dilakukan namun tetap saja kekerasan terhadap anak terjadi yang grafiknya terus meningkat sehingga sudah masuk dalam kategori abnormal dengan ancaman terburuk hilangnya Generasi masa depan, hal itu terjadi disebabkan Indonesia tidak memiliki eksekutor yang benar-benar menjadi teladan bagi anak-anak. Eksekutor utama Perlindungan Anak itu sebenarnya adalah keluarga. Keluarga adalah benteng yang tangguh untuk memberikan dan memastikan perlindungan anak. Nanum fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak yang terjadi disebabkan oleh runtuhnya ketahanan keluarga. Srcara faktual runtuhnya ketahanan keluarga itu akibat hilangnya keteladanan dan panutan dari orang tua sudah mulai hancur.

Orangtua atau keuarga sudah tidak lagi menjadi teladan bagi anak-anaknya. Keadaan ini diperpara dengan tergerusnya fungsi ayah sebagai imam dalam keluarga, akibatnya anak tidak mempunyai pegangan dan rasa nyaman selama tinggal di rumah. Kondisi ini diperpara lagi dengan munculnya serangan corona yang berakibat bertambahnya jumlah pelanggaran hak-hak dasar anak. Kasus lain yang memastikan bahwa pelanggaran hak dasar memasuki fase Abnormal, bangsa ini dikagetkan dengan sebuah peristiwa pembantaian tiga orang anak balita usia 5, 4 dan 2 tahun oleh ibu kandung di Nias Sumatera Utata dengan cara menggorok lehernya anaknya hingga putus, lantaran kemiskinan.

Tindakan abnormal lainnya terjadi juga di salah satu desa di Kabupaten Deliserdang dan di Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Adalah seorang ayah kandung melakukan kejahatan seksual berupa incest (persetubuhan sedarah) yang dilakukan 4 dan 8 tahun. Satu pelaku meninggal dunia setelah mendekam di tahanan. Peristiwa Abnormal yang sama juga terjadi di Kabupaten Tobasa. Di desa Silaen Kabupaten Tobasa terjadi kejahatan seksual dalam betuk incest yang dilakukan ayah dan paman kadungnya terhadap anak dan ponakan secara bersama sampai korban melahirkan anak. Kejahatan Seksual Abnornal juga dirasakan 2 orang anak kakak beradik usia 12 dan 7 tahun di Dusun Si Onggang, Kecatamatan Lumbanjulu, Kabupaten Tobasa selama 4 tahun yang dilakukan oleh orangtua kandung korban. Situasi Abnormal adalah, korban dan ibunya justru diusir penduduk dari tempat tinggalnya karena dianggap korban membawa sial dan aib bagi penduduk dan kampung. Peristiwa Abnormal juga terjadi di Bekasi dimana seorang anak (17) berprofesi sebagai pengamen (anak pang) membunuh sahabatnya sendiri dengan cara memutilasi korban lantaran tak kuat diperbudak sek oleh korban. Masih belum lupa dari ingatan kita, sebuah kasus mutilasi 8 orang anak di Kabupaten Siak, dimana 8 orang anak menjadi korban pembunuhan dan penghilangan secara paksa hak hidupnys dengan cara dimutilasi, lalu diambil dagingnya kemudian dijual ke warung (lapo) makanan yang dilakukan 5 orang diantaranya masih berusia anak.

Catatan KOMNAS Perlindungan Anak sampai akhir tahun 2020, telah menerima laporan pengaduan pelanggaran hak anak mencapai 2. 729 kasus dimana 52 % kasus didominanisasi oleh kekerasan seksual, selebihnys kekerasan fisik dan verbal bahkan tindakan dan perlakuannya sudah masuk pada tindakan dan perlakuan abnormal.

Melihat keadaan dan situasi anak saat ini masih banyak masyarakat, pemerintah dan negara ikut membiarkan dan tidak berbuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan bagi anak dan menganggap kejahatan terhadap anak dianggap biasa ini merupakan tindakan abnormal juga. Artinya jika kita melihat pelanggaran hak anak tapi tidak berbuat dan menollong sementara mrmbutuhkan pertolongan maka tindakan kita dapat disebut juga tindakan abnormal. Keadaan ini dipengaruhi oleh runtuhnya ketahanan keluarga. Rumah tidak lagi ramah dan bersahabat. Fakta menunjukkan, situasi dalam keluarga masa kini yakni " Ada Ayah dan ibu tetapi Tiada". Rumah tidak lagi nyaman bagi anak. Ketahanan keluarga sudah runtuh, bahkan keteladan orangtua juga sudah tergerus oleh gajet, media online.dan media sosial lainnya. Penyebab utama runtuhnya ketahanan keluarga dan keteladan itu karena anak-anak sudah jauh dari nilai-nilai agama yang berakar dari keluarga itu sendiri. Ayah tidak bisa menjadi imam dalam keluarga yang sempurna, dan peran ibu kritis keteladanan sehingga anak mengambil jalan panutan lain seperti internet melalui daringnya.

Oleh karena itu, untuk Memutus Mata Rantai Darurat Kekerasan Abnormal, nilai-nilai agama harus dikuatkan kembali dalam lingkungan keluarga..Rumah harus menjadi tempat yang terus beribadah yang kuat. Kalau ini dapat diwujudkan maka masa depan anak akan terjaga dan kekerasan anak tidak akan terjadi. Sebab pelaku dari kekerasan terhadap anak itu datang dari orng terdekat termasuk ayah, ibu, abang, paman dan atau keluarga tetdekat. (Hlh/Rls)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X