“Kalau dipotong dari Rp50 ribu jadi Rp50 perak kan, masyarakat kita akan merasa kok jadi sedikit sekali uangnya,” ucap Ferry.
Pengamat ekonomi itu pun menegaskan, fokus kebijakan ini harus mempertimbangkan persepsi masyarakat kecil.
“Jadi hal yang perlu kita perhatikan dalam kebijakan redenominasi sederhananya adalah memperhatikan dampak psikologis bagi masyarakat,” tutup Ferry.
Lantas, siapa sebenarnya yang mengemban wewenang atau tanggung jawab dalam menerapkan kebijakan redenominasi ini?
Menkeu Purbaya: Redenominasi Bukan Wewenang Kemenkeu
Secara terpisah, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menjelaskan, redenominasi bukan berada di bawah kendali Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Jadi kalau ada redenominasi, itu bukan wewenang Kementerian Keuangan; nanti Bank Indonesia yang akan menyelenggarakannya,” ujar Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Jumat, 14 November 2025.
Purbaya menyebut, isu redenominasi itu tercantum dalam PMK karena mengikuti struktur rencana legislasi.
“Itu ada di PMK karena memang sudah masuk prolegnas jangka menengah 2025 sampai 2029 yang disetujui oleh DPR sama BI. Jadi kami hanya menaruh di situ saja,” jelasnya.
Purbaya menambahkan, dirinya tidak mengetahui strategi implementasi kebijakan tersebut.
“Kalau Anda tanya strategi Anda apa? Saya nggak tahu. Bank Sentral yang akan menjalankan itu,” terangnya.
BI Pastikan Tidak Ada Dampak terhadap Daya Beli
Di lain pihak, Bank Indonesia (BI) pernah angkat bicara untuk menenangkan publik terkait wacana redenominasi.
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso memastikan nilai rupiah dan daya beli masyarakat tidak akan berubah.
“Redenominasi rupiah adalah penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli dan nilai rupiah terhadap harga barang dan atau jasa,” ujar Denny dalam keterangan resminya, pada Senin, 11 Oktober 2025 lalu.