Edisi.co.id - Maraknya kasus kekerasan seksual telah mendapat banyak perhatian. Gerakan-gerakananti-kekerasan seksual bermunculan. Upaya pencegahannya pun cukup masif disosialisasikan,berseliweran di media sosial maupun selebaran di jalanan.
Pendidikan seksual sedari dini tentumenjadi kunci menuju terciptanya ruang yang lebih aman tanpa kekerasan seksual. Namun,masih ada anak-anak yang seringkali luput untuk dilibatkan dalam upaya tersebut.
Merekadalah anak berkebutuhan khusus tunagrahita.
Baca Juga: Pesantren Lirboyo Kediri Kebakaran, Kemenag Salurkan Bantuan Senilai Rp650 Juta
Karena kebutuhan khusus yang dimiliki, mereka seringkali dianggap ‘berbeda’ dari anak pada umumnya. Padahal, mereka tetaplah suatu individu yang utuh, tetap mengalami masa pubertas,perubahan hormon, dan kebutuhan untuk menyalurkan hasrat biologisnya.
Keterbatasanmereka dalam aspek intelektualitas dan komunikasi acapkali menjadi hambatan dalam prosespenanaman nilai-nilai pendidikan seksual.
Merespons ancaman kekerasan seksual di Depok, dengan bimbingan dari Dr. Ners. Dwi Cahya Rahmadiah selaku dosen Departemen Keperawatan Komunitas, lima mahasiswa UniversitasIndonesia, Rifty Octapiani Fauziah, Anisa Isnaini, Naswa Dwidayanti Khairunnisa, Mirlando
Geny Saputra, dan Prima Amalia Dewi, berusaha mengatasi hambatan tersebut denganmenginisiasi metode pendidikan seksual yang disesuaikan dengan karakteristik tunagrahita itu sendiri.
Upaya ini dilakukan melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang PengabdianMasyarakat yang mendapatkan pendanaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
“Mereka memang memiliki kebutuhan khusus yang menghambat penerimaan pendidikan seksual. Tapi, hambatan tersebut tentunya tidak lantas mengaburkan hak-hak anak berkebutuhan khusus tunagrahita dalam mendapatkan pendidikan seksual.
Sebagaimana anak lain, mereka juga berhak mendapatkan pendidikan seksual demi keselamatan hidupnya,” papar rifty Octapiani, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang berperan sebagai ketua tim.
Menyikapi karakteristik tunagrahita yang memiliki keterbatasan ingatan dan fokus belajar, Tim PKM ini menginisiasi penggunaan media pop up book dalam menyampaikan pendidikan seksual. Pop up book, dengan ilustrasi tiga dimensinya, mampu membuat anak terlibat secara aktif dalam pembelajaran, menarik minat, serta menciptakan atmosfer yang menyenangkan.
Boneka puppet sebagai model juga digunakan karena, umumnya, anak berkebutuhan khusus tunagrahita merupakan tipe pembelajar visual sehingga pembelajarannya dapat dioptimalisasi dengan gambar dan alat peraga.
Lebih lanjut, media tersebut dipadukan dengan metode storytelling. Materi pendidikan seksual yang dikemas dalam bentuk cerita ini mencakup: pengenalan gender, identifikasi anggota tubuh mana saja yang tidak boleh dilihat maupun dipegang sembarang orang, pengenalan istilah kekerasan seksual, serta identifikasi mitigasi yang dapat dilakukan jika anak menjadi korban.
Artikel Terkait
Elektabilitas Supian Suri Makin Melesat, Faizin: 2 Bulan Petahana Tak Tambah Suara
Kasus Cuci Rapor 51 Siswa SMPN 19 Depok, Guru Honorer Terancam Dipecat
Gantikan Ilham Bintang, Anton Charliyan kini Ketua Dewan Penasihat PWI Pusat
11 PTKN Segera Bertransformasi Menjadi Universitas dan Institut
Bhabinkamtibmas Pulau Tidung Bersama Satpol PP Himbau Warga Pasang Umbul-Umbul dan Bendera Merah Putih Sambut HUT RI ke-79
Kapolsek Kepulauan Seribu Utara Gelar Ngopi Kamtibmas di Taman RPTRA Pulau Harapan untuk Jalin Silaturahmi dan Jaga Keamanan