Edisi.co.id, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengecam keras pencabutan kartu identitas (ID) liputan Istana Presiden Republik Indonesia milik seorang jurnalis CNN Indonesia TV oleh pihak Sekretariat Presiden. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers dan praktik penyensoran otoriter oleh lembaga negara.
“Ini adalah contoh praktik otoriter negara dalam melakukan penyensoran terhadap segala informasi terkait kebijakan pemerintah yang bermasalah,” ujar Haeril Halim, Manajer Media Amnesty International Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya dikutip dari amnesty.id, Senin (30/9).
Menurut Haeril, pencabutan ID pers dengan alasan bahwa sang jurnalis menanyakan pertanyaan “di luar konteks” tidak dapat dibenarkan. Ia menegaskan bahwa jurnalis memiliki tanggung jawab profesional untuk mengangkat isu yang menyangkut kepentingan publik, termasuk terkait laporan ribuan siswa yang mengalami keracunan diduga akibat program prioritas pemerintah, Makan Bergizi Gratis (MBG).
Baca Juga: Wamendikdasmen Atip Latipulhayat Gaungkan Integritas dan Sekolah Aman Bebas Kekerasan
“Tindakan sewenang-wenang ini mencederai semangat reformasi dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini secara tegas melindungi kemerdekaan pers dari sensor, pembredelan, dan pelarangan penyiaran,” tegasnya.
Lebih lanjut, Haeril menilai bahwa upaya membatasi jurnalis untuk tidak mengajukan pertanyaan kritis merupakan bentuk sensor terselubung yang tidak hanya merugikan kebebasan pers, tetapi juga mengurangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan relevan.
“Dari perspektif hak asasi manusia, pencabutan ID ini adalah bentuk represi terhadap suara kritis. Ini menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis dan memperkuat kecenderungan otoritarianisme dalam pemerintahan,” tambahnya.
Baca Juga: Percepat Integrasi Transportasi, Gubernur Pramono Koordinasi dengan Menteri Perhubungan
Meski pihak Istana telah mengembalikan ID liputan kepada jurnalis yang bersangkutan, Amnesty International menilai bahwa insiden ini tetap tidak bisa dianggap selesai begitu saja. Mereka mendesak Presiden RI untuk mengambil tanggung jawab penuh atas peristiwa ini.
“Presiden harus meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat dan memastikan bahwa tindakan represif serupa tidak akan terulang. Pemerintah wajib menghormati kerja jurnalistik sebagai bagian integral dari demokrasi dan kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi,” pungkas Haeril.
Latar belakang
CNN Indonesia mengungkapkan bahwa Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas liputan Istana milik jurnalis CNN Indonesia TV, Diana Valencia. Ini terjadi setelah dia melontarkan pertanyaan mengenai masalah program MBG ke Presiden Prabowo Subianto yang diwawancara para wartawan saat baru tiba di Jakarta dari lawatan luar negeri pada Sabtu 27 September.
Baca Juga: Indonesia–Kirgizstan Jalin Kerja Sama Pengembangan Industri Halal
Informasi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan ada instruksi untuk wartawan peliput istana agar tidak menanyakan masalah MBG kepada presiden. Diana memilih tetap bertanya sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai jurnalis kepada publik yang berhak tahu tentang pandangan presiden terkait ribuan siswa keracunan akibat MBG. Setelah peristiwa itu, pihak Biro Pers Istana melalui salah seorang stafnya menanyakan keberadaan Diana. Saat itu, Diana menjawab dirinya berada di kantor.
Artikel Terkait
Forum Wartawan Kebangsaan Kecam Pencabutan Kartu Liputan Reporter CNN Indonesia