Pilihan berpindah ke China membawa konsekuensi besar. Skema yang awalnya berupa pinjaman antar negara berubah menjadi model bisnis B2B atau business to business.
Dalam sistem ini, negara tidak diperbolehkan memberi subsidi langsung, namun beban bunga dan risiko finansial justru tetap menimpa keuangan negara.
Skema Bunga dan B2B yang Dinilai Bermasalah
Dalam kesempatan yang sama, pakar transportasi dan anggota tim asistensi awal proyek Whoosh, Harun Ar Rasyid membantah tudingan dirinya yang mengubah bunga proyek dari 0,1 persen menjadi 2 persen.
“Enggak, saya sudah bilang itu salah kalau dikatakan saya yang men-setup 0,1 persen ke 2 persen. Begitu China dimenangkan, ya mereka bikin kesepakatan sendiri,” ujar Harun dalam diskusi yang sama.
Menurutnya, keputusan pemerintah menggunakan skema B2B justru menjadi akar persoalan.
Harun melanjutkan, dalam sistem itu, investor asing ikut menanam modal hingga 40 persen, namun konsekuensinya negara tidak bisa mengatur pembiayaan sebagaimana proyek G2G.
“Memilih B2B inilah yang ngawur kalau menurut saya. Karena sekarang sebetulnya kereta cepat ini masih tahap awal, baru seperlima mimpi. Mimpi kita sampai Surabaya,” jelasnya.
Beban Lahan dan Subsidi Transportasi
Di sisi lain, Harun juga menyinggung persoalan lahan yang menjadi salah satu penyebab membengkaknya biaya proyek.
Harun menyebut, jika pada proyek jalan tol pembebasan lahan dibiayai negara, maka dalam proyek kereta cepat, biaya tersebut ditanggung oleh perusahaan pelaksana.
“Kalau jalan tol, tanahnya dibayar negara. Kalau kereta cepat, perusahaan yang bayar. Angkanya bisa 15 triliun. Harusnya ini bisa diatur ulang,” sebutnya.
Ia menambahkan, logika subsidi di sektor transportasi publik bukan hal baru. Pemerintah bahkan sudah mengeluarkan lebih dari 10 triliun rupiah per tahun untuk subsidi MRT, BRT, dan LRT di Jabodetabek yang melayani jutaan penumpang setiap hari.
Meski begitu, hal tersebut berbeda dengan kereta cepat yang menyasar kalangan menengah ke atas, proyek Whoosh menimbulkan dilema antara kebanggaan nasional dan efisiensi fiskal.
Pertanggungjawaban dan Transparansi
Artikel Terkait
Mampukah Wacana Pemutihan Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan Terealisasi?
Whoosh: Ketika Ambisi Politik Mengalahkan Rasionalitas Ekonomi Penulis: Harris Turino Kurniawan
Prabowo: Bangsa Indonesia Terlalu Baik hingga Mudah Dibohongi, Pemimpin Tak Boleh Lugu
IFG dan Bahana TCW Dorong Tata Kelola Investasi Asuransi Berbasis Risiko Lewat CFO Forum AAUI 2025
Kemelut Kereta Cepat Whoosh: Mahfud MD Sebut KPK Aneh hingga Persilakan Lembaga Antirasuah Panggil Dirinya