Ibarat pepatah “jangan beli kucing dalam karung”, due diligence dalam industri asuransi adalah semacam tes kesehatan yang menentukan layak atau tidaknya sebuah perusahaan digabungkan.
Tes ini lebih kompleks karena melibatkan banyak komponen tak kasat mata, mulai dari cadangan klaim, reasuransi, manajemen risiko, hingga kualitas portofolio investasi.
Perusahaan bisa tampak bugar dari luar, tapi menyimpan potensi masalah di dalam, seperti kapal megah yang ternyata bocor di lambungnya.
Karena itu, konsolidasi tanpa due diligence yang menyeluruh sama seperti membeli rumah tanpa mengecek fondasinya; indah di luar namun bisa runtuh di kemudian hari.
“Laporan keuangan yang tampak sehat tidak selalu mencerminkan kondisi riil perusahaan. Tanpa proses pemeriksaan mendalam, risiko membeli kucing dalam karung sangat besar, mulai dari liabilitas tersembunyi hingga ketidaksesuaian pencadangan klaim yang baru terungkap setelah penggabungan terjadi,” terangnya.
Jadi, tambah Wahyudin, due diligence bukan sekadar formalitas karena memiliki peran krusial dalam proses konsolidasi.
Langkah ini memastikan penggabungan dilakukan dengan pemahaman menyeluruh terhadap kondisi keuangan, aktuaria, hukum, dan operasional. Hadir sebagai instrumen mitigasi risiko strategis dalam menjaga keberlanjutan bisnis pasca konsolidasi.
Menghadapi Risiko Liabilitas dan Spin-off Syariah
Salah satu faktor paling krusial dalam proses konsolidasi adalah liabilitas asuransi, terutama cadangan teknis (Incurred But Not Reported) yang bersifat estimatif dan rawan dimanipulasi.
Dalam kasus tertentu, perusahaan dapat dengan sengaja menurunkan cadangan klaim (under reserving) untuk menampilkan laba semu yang lebih tinggi, valuasi aset tidak mengikuti harga pasar, dan pendapatan diakui terlalu cepat.
Risiko ini bisa meledak bertahun-tahun kemudian setelah perusahaan yang melakukan akuisisi mengambil alih kewajiban.
Bahkan ada piutang reasuransi yang sulit ditagih tapi tetap dicatat sebagai aset. Praktik semacam ini menciptakan “ilusi sehat” yang menipu, bukan hanya bagi calon mitra merger, tapi juga bagi regulator dan publik.
Ketika realitas akhirnya terbuka, nilai sinergi yang diharapkan justru berubah menjadi beban besar.
Tantangan serupa juga dihadapi sektor syariah. Berdasarkan POJK 11/2023 tentang kewajiban spin-off, sebanyak 12 Unit Usaha Syariah (UUS) tengah menyiapkan langkah exit dan transfer portofolio.
Kondisi ini menuntut perusahaan penerima untuk lebih waspada terhadap kualitas portofolio yang diambil alih agar tidak mewarisi masalah tersembunyi.