Edisi.co.id-Potret kependudukan Indonesia sangat dinamis. Transformasi demografis menunjukkan adanya penurunan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) yang berimbas pada menurunnya laju pertumbuhan penduduk (LPP). Pada saat yang sama, situasi dan karakteristik antarwilayah menunjukkan keberagaman. Karena itu, kebijakan kependudukan maupun kebijakan pembangunan pada umumnya tidak bisa diseragamkan untuk semua wilayah. Perlu kebijakan afirmatif untuk menysuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara kunci pada pembukaan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) Bidang Pengendalian Penduduk II Tahun 2024 yang berlangsung pada Senin malam (9/9/2024) di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Rakortek diikuti seluruh tim Kedeputian Pengendalian Penduduk BKKBN Pusat dan Tim Kerja Pengendalian Penduduk Perwakilan BKKBN Provinsi se-Indonesia.
“Kalau kita mengikuti arahan dari Bappenas, dalam kebijakan kependudukan, maka progam-program yang berbasis kewilayahan ini jadi penting. Tidak bisa lagi menerapkan kebijakan once for all, satu kebijakan diterapkan untuk seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, afirmasi kebijakan menjadi penting untuk wilayah-wilayah. Dengan cara apa, dengan cara mengidentifikasi tantangan-tantangan dan isu-isu di wilayah tersebut,” ungkap Tavip.
Sekretaris Utama BKKBN ini menekankan bahwa untuk menyukseskan pembangunan menuntut perubahan mindset. Di sinilah perlunya peningkatan pelaksanaan pembangunan berwawasan kependudukan. Dia mencontohkan penyusunan Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) yang belum banyak menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah.
“Mohon maaf ini untuk kritik. Selama ini GDPK itu kalau di daerah-daerah, karena saya pernah jadi orang daerah, baru banyak berhenti di dokumen. Padahal, harusnya menjadi mainstream pembangunan di daerah. Tidak ada pembangunan yang tidak ada hubungannya dengan penduduk. Oleh karena itu, ini harus menjadi perhatian dalam menyusun perencanaan berbasis kependudukan. Khususnya, bisa berbasis afirmasi. Bagi daerah-daerah yang sudah baik untuk dipertahankan, untuk daerah yang kurang tentu perlu akselerasi agar bisa lebih cepat,” papar Tavip.
Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menambahkan, progam Bangga Kencana harus terus diperkuat dengan peningkatan yang lebih inovatif dan inklusif. Pengendalian penduduk melalui program keluarga berencana yang efektif dan edukatif akan memastikan keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kapasitas pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan Adaptif
Dalam era digital, sambung Tavip, teknologi menjadi alat yang penting untuk mendukung kebijakan kependudukan. Pengembangan sistem informasi untuk analisis demografis serta pemanfaatkan kecerdasan buatan and internet of things (IoT) harus menjadi strategi dalam sistem informasi peringanatan dini pengendalian penduduk. Oleh karena itu, teknologi yang dimiliki harus terus dikembangkan karena tantangan teknologi di luar maju demikian pesat.
“Kalau tidak, tentu akan ketinggalan dengan teknologi yang ada di luar yang demikian pesat. Jadi, kalau kita terpaku dengan teknologi yang kita miliki tanpa melakukan penyesuaian, tentu akan tertinggal. Demikian juga kalau kita kaitkan dengan transformasi demografis. Bagaimana transformasi demografis ini harus dikelola dengan bijak melalui kebijakan kependudukan yang tepat dan adaptif,” ucap Tavip.
“Kenapa saya sebut adaptif, karena dinamikanya sangat tinggi. Karena itu, kebijakan kependudukan tidak lagi once for all, satu kebijakan untuk seluruh wilayah di Indonesia. Kebijakan kependudukan perlu mempertimbangkan karakteristik, seperti agama, sosial-ekonomi, atau faktor-faktor ekologis yang ada di wilayah tersebut,” Tavip menambahkan.
Menurutnya, terdapat beberapa keunggulan dalam tantangan menerapkan kebijakan asimetris atau dalam otonomi daerah sering disebut desentralisasi asimetris. Yaitu, tidak adanya penyeragaman wilayah yang disebut sebagai daerah otonom. Karena itu, keunggulan dalam perspektif efektivitas dan efisiensi harus menjadi pertimbangan untuk menyusun kebijakan. Dengan begitu, efektivitas program bisa dilaksanakan secara optimal.
Dia juga mengingatkan, menurunnya angka fertilitas seyogyanya mendorong munculnya kebijakan mikro yang berorientasi keluarga. Dalam hal ini di luar kebijakan kependudukan. Untuk itu, diperlukan kebijakan pembangunan keluarga di era replacement level, yaitu kebijakan pembinaan kehidupan berkeluarga berupa motivasi berkeluarga dan menurunkan angka perceraian.
“Kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kependudkuan perlu menjadi afirmasi. Bonus demografi merupakan keuntungan yang diperoleh dengan adanya percepatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan perubahan struktur umur penduduk, di mana penduduk usia produktif sangat besar. Kalau dalam teori sederhana itu, beban keluarga berada pada titik paling ringan,” ujar Tavip.
Sebagai lembaga pemerintah yang mendapat mandat dalam pengendalian penduduk dan pembangunan keluarga, Tavip mengungkapkan BKKBN berupaya membangun kesinambungan program pengendalian penduduk untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 20245 mendatang. Program-program tersebut meliputi penyusunan Blueprint Pembangunan Kependudukan, GDPK, Indeks Pembangunan Berwawan Kependudukan, Indeks Kepedulian terhadap Isu Kependudukan, Sistem Informasi Peringatan Dini Pengendalian Penduduk, Rumah Data Kependudukan (Rumah Dataku), Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat), dan Sekolah Siaga Kependudukan (SSK).