Masa pendudukan Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama. Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu, menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Kesempatan ini, digunakan oleh Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejak itu, para pemuda dan rakyat Indonesia bergerak melakukan tindakan pengambilahan kekuasaan dari tangan Jepang. Para pemuda, kemudian menggabungkan diri dalam berbagai lasykar perjuangan, seperti Hizbullah, Sabilillah, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, dan berbagai lasykar perjuangan lainnya. Mohammad Ramdan, bergabung dengan Lasykar Hizbullah. Sementara Mohammad Toha bergabung dengan Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia.
Arsip Nasional Republik Indonesia mencatat kondisi awal kota Bandung menjelang peristiwa peledakan Gudang Mesiu di Dayeuhkolot sebagai berikut:
Pada bulan September-Oktober 1945 terjadi bentrokan fisik antara pemuda, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan rakyat Bandung dengan tentara Jepang dalam usaha pemindahan markas Jepang. Bentrokan itu terjadi antara lain di Gedung PTT, pabrik senjata dan mesiu di Kiaracondong, dan puncaknya terjadi di Heetjanweg, Tegalega. Pada tanggal 9 Oktober 1945, bentrokan fisik dengan pihak Jepang dapat diselesaikan dengan damai. Pemuda, TKR, dan rakyat Bandung berhasil mendapatkan senjata mereka dan kemenangan ada di pihak rakyat Bandung. Namun bersamaan dengan itu, pada tanggal 21 Oktober 1945 satu brigade tentara Sekutu di bawah pimpinan Mc. Donald dari Divisi India ke 23 memasuki kota Bandung. Peranan Sekutu sebagai wakil kolonial Belanda segera menimbulkan ketegangan dan bentrokan dengan rakyat Bandung. Insiden-insiden kecil yang menjurus pada pertempuran sudah tidak dapat dihindari lagi.
Pada tanggal 24 November 1945, TKR, pemuda, dan rakyat yang dipimpin oleh Arudji Kartasasmita sebagai komandan TKR Bandung memutuskan aliran listrik dengan maksud mengadakan serangan malam terhadap kedudukan Sekutu. Seluruh kota Bandung gelap gulita. Sejak saat itu, pertempuran terus berkecamuk di Bandung. Karena merasa terdesak, pada tanggal 27 November 1945 Sekutu memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat Sutarjo yang ditujukan kepada seluruh rakyat Bandung agar paling lambat tanggal 29 November 1945 pukul 12.00 seluruh unsur bersenjata RI meninggalkan Bandung Utara dengan jalan kereta api sebagai garis batas dermakasinya. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, rakyat Bandung tidak mematuhinya. Sejak saat itu, Sekutu---secara sepihak---menganggap bahwa kota Bandung telah terbagi menjadi dua bagian; dengan jalan kereta api sebagai garis batasnya. Bandung bagian utara dianggap milik Inggris, sedangkan Bandung Selatan milik Republik.
Mulailah tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Gurkha, dan NICA meneror penduduk di bagian Utara jalan kereta api. Mereka menghujani tembakan ke kampung-kampung dengan membabi buta. Kekalahan Republik dalam mempertahankan Gedung Sate/PTT membawa korban 7 orang meninggal dunia sebagai pahlawan.
Pertempuran di UNPAD pada tanggal 1 Desember, Balai Besar K.A., dan Stasiun Viaduct pada 3 Desember menjadi saksi atas semangat juang rakyat Bandung. Sepanjang bulan Desember 1945 sampai Januari 1946, pertempuran masih berlangsung dengan jalan kereta api sebagai garis demarkasinya. Titik utamanya: Waringin, Stasiun Viaduct, dan Cicadas. Demikian pula pertempuran di Fokkerweg berlangsung selama tiga hari tiga malam. Pada tanggal 2 Januari 1946, konvoi Inggris dari Jakarta yang terdiri dari 100 truk tiba di Bandung. Bantuan dari Jakarta terus mengalir untuk membantu pertahanan Sekutu yang ada di Bandung, sementara di pihak Republik bantuan pun tak kunjung henti dari berbagai daerah. Sekutu merasa tidak aman karena selalu mendapat serangan dari TKR, pemuda, dan rakyat Bandung.
Pada tanggal 24 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum lagi kepada rakyat Bandung yang masih mempunyai atau menyimpan senjata, bahwa pada malam minggu harus sudah meninggalkan seluruh kota Bandung. Dengan demikian, garis demarkasi yang telah dibuat itu tidak digunakan lagi. Ultimatum itu berakhir sampai tengah malam Senin 24-25 Maret 1946. Secara lisan, pihak Sekutu meminta untuk mengawasi daerah dengan radius 11 km sekitar Bandung. TKR dan pasukan lainnya meminta waktu 10 hari karena penarikan TKR dalam waktu singkat tidak mungkin, namun tuntutan itu tidak disetujui. Dengan demikian, pertempuran sulit untuk dihindarkan. Ribuan orang, berduyun-duyun mulai meninggalkan kota Bandung. Bulan Februari sampai Maret 1946, Bandung telah berubah menjadi arena pertempuran. Kantor Berita ANTARA memberitakan sebagai berikut:
Berita yang diterima siang hari ini menyatakan sebagai berikut: Bandung menjadi lautan api. Gedung-gedung dari jawatan-jawatan besar hancur, di antaranya kantor telpon, kantor pos, jawatan listrik. Sepanjang jalan Pangeran Sumedang, Cibadak, Kopo, puluhan rumah serta pabrik gas terbakar. Semua listrik, penerangan di daerah Bandung putus, yakni Banjaran, Ciperu, dan Cicalengka. Yang masih berjalan hanya listrik penerangan daerah Pangalengan. Lebih lanjut dikabarkan, bahwa Inggris mulai menyerang pada tanggal 25 Maret pagi, sehingga terjadi pertempuran sengit yang masih berjalan sampai saat dibikinnya berita ini (Sumber: Berita ANTARA, 26 Maret 1946).
Bandung sengaja dibakar oleh tentara Republik, menjadi Bandung Lautan Api pada tanggal 24 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan agar Sekutu tidak dapat menggunakannya kota ini sebagai basis pertahanannya. Di sana sini asap hitam mengepul membumbung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi.
Pada tahun 1946, daerah Bandung Selatan diserahkan oleh pihak Sekutu kepada tentara Belanda dari Brigade V yang dipimpin oleh Kolonel Meier yang bermarkas di Kampung Dengki Dayeuhkolot.
Watra, saksi seperjuangan dengan Mohammad Ramdan yang saya temui sekitar pada tahun 1988 mengemukakan:
Pihak lasykar perjuangan Bandung Selatan, kemudian mendirikan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) di Baleendah. Sekarang dibangun tugu kujang. Baleendah, menjadi front paling depan yang berhadapan langsung dengan markas tentara Belanda di Dayeuhkolot. Batas yang memisahkan kedua pos pertahanan yang saling bermusuhan itu, adalah sungai Citarum. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, markas MPPP selalu dijaga secara bergantian oleh lasykar-lasykar perjuangan yang tergabung di dalamnya.
Mohammad Ramdan yang juga bergabung dalam MPPP dari lasykar Hizbullah yang bermarkas di Majalaya, juga secara bergantian mendapat tugas jaga di pos MPPP.
Menjelang peledakan Gudang Mesiu di Dayeuhkolot, Ibu Gandasih, kakak kandung Mohammad Ramdan yang saya wawancarai mengemukakan:
Hari Kamis, pukul 10.00 pagi tanggal 10 Juni 1946,
Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang mesiu yang besar milik Sekutu. TKR bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan kosong dari tentara. Tetapi api masih membumbung masih membakar Bandung. Kini Bandung berubah menjadi lautan api.
Rakyat berduyun-duyun meninggalkan Bandung Selatan untuk mengungsi ke desa-desa. Sekutu tetap melancarkan serangan-serangan tapi jauh di utara ditujukan ke selatan. Sampai saat itu, hanya 16.000 orang pribumi yang tinggal di Bandung Utara, padahal sebelumnya daerah itu berpenduduk 100.000 jiwa.
Baca Juga: Marullah Matali Dilantik Menjadi Sekretaris Daerah DKI Jakarta