Solusi berbasis teknologi
Di era digital saat ini, pemanfaatan teknologi informasi sangat penting dalam perencanaan tata ruang kota. Teknologi seperti GIS dan pemetaan satelit dapat membantu pemerintah daerah memetakan zona rawan banjir dengan mudah, mengurangi kepadatan penduduk yang tidak terkendali, dan mencegah pelanggaran tata ruang.
Di Bali, GIS bisa diterapkan untuk memantau alih fungsi lahan secara real-time, misalnya dengan memetakan zona resapan air dan bantaran sungai yang kini beralih menjadi vila atau hotel. Kolaborasi dengan Universitas Udayana, yang memiliki keahlian dalam penelitian GIS untuk mitigasi banjir, dapat mempercepat implementasi ini melalui analisis risiko banjir menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
Meskipun implementasi GIS memerlukan investasi awal untuk pelatihan dan infrastruktur, biaya ini jauh lebih rendah dibandingkan kerugian akibat banjir, seperti yang dilaporkan mencapai miliaran rupiah di Bali pada 2025
Platform seperti ArcGIS telah digunakan di berbagai kota di dunia untuk mengoptimalkan pengelolaan lahan, namun banyak daerah di Indonesia masih minim memanfaatkan teknologi ini secara maksimal.
Belajar dari Bhutan untuk pariwisata berkelanjutan.
Selain itu, saya juga pernah menulis tentang pentingnya pariwisata berkelanjutan dengan mencontoh Bhutan. Negara kecil di Himalaya ini berhasil mempertahankan kearifan lokal melalui pendekatan "high value, low impact", dengan membatasi jumlah wisatawan dan menerapkan tarif harian untuk memastikan pariwisata tidak merusak lingkungan dan budaya lokal. Pendekatan ini terbukti efektif menjaga kelestarian lingkungan, dengan lebih dari 70% wilayah Bhutan masih tertutup hutan hingga 2025, menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP).
Kearifan lokal untuk ketahanan bencana
Di Indonesia, kearifan lokal juga memiliki nilai yang tak kalah penting. Di Bali, sistem subak—warisan budaya dunia UNESCO—menawarkan pelajaran berharga. Subak adalah organisasi petani yang mengelola irigasi secara komunal dengan komponen hutan, sawah terasering, bendungan, dan pura, yang secara alami mencegah banjir dengan mempertahankan resapan air di lahan pertanian. Namun, alih fungsi lahan telah menggerus subak, memperparah banjir karena hilangnya fungsi saluran irigasi alami.
Di Sumatra Barat, rumah gadang dirancang dengan struktur tahan gempa, mencerminkan pengetahuan leluhur tentang mitigasi bencana. Rumah gadang dibangun menggunakan sistem konstruksi kayu tanpa paku, dengan teknik sambungan pasak kayu yang memungkinkan rumah untuk “berayun” saat gempa, sehingga menyerap getaran tanpa roboh—mirip prinsip desain modern pada bangunan tahan gempa yang mengutamakan fleksibilitas. Fondasinya menggunakan batu umpak, yaitu batu besar yang tidak diikat permanen ke tanah, memungkinkan gerakan ringan untuk mengurangi risiko kerusakan, serupa dengan teknologi base isolation saat ini. Atap gonjong yang melengkung juga aerodinamis, membantu mengurangi tekanan angin dan guncangan.
Prinsip-prinsip ini dapat diadaptasi dalam perencanaan kota modern di Bali, misalnya dengan mempertahankan lahan hijau sebagai zona resapan air dan membangun struktur bangunan yang fleksibel terhadap bencana.
Untuk mengatasi masalah banjir dan alih fungsi lahan, pemerintah daerah perlu mengambil langkah konkret, seperti:
1. Penegakan Aturan Tata Ruang: Memperketat pengawasan terhadap konversi lahan dan memastikan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dengan sanksi tegas bagi pelaku pembangunan di zona rawan seperti bantaran sungai.
2. Pemanfaatan Teknologi: Mengintegrasikan GIS dan pemodelan 3D untuk pemetaan dan pemantauan lahan secara real-time, dengan kolaborasi universitas seperti Udayana untuk analisis risiko banjir menggunakan metode AHP.
3. Pariwisata Berkelanjutan: Mengadopsi model seperti Bhutan untuk membatasi dampak pariwisata terhadap lingkungan, misalnya dengan membatasi jumlah vila di zona resapan air.
4. Edukasi dan Partisipasi Masyarakat: Melibatkan komunitas banjar di Bali untuk mengawasi alih fungsi lahan dan membersihkan drainase secara berkala, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga sistem subak untuk pengendalian banjir.
Kesimpulan
Banjir di Bali pada September 2025 menjadi peringatan keras bahwa pembangunan yang mengabaikan tata ruang dan daya dukung lingkungan akan membawa konsekuensi serius, seperti kerusakan ekosistem, 18 korban jiwa, ratusan rumah terendam dan rusak, serta kerugian ekonomi mencapai Rp 20 miliar. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali, terutama untuk kepentingan komersial, telah memperparah risiko bencana.
Teknologi modern seperti GIS dan pemodelan 3D menawarkan solusi efektif untuk perencanaan tata ruang yang lebih baik, sementara kearifan lokal, seperti sistem subak di Bali dan desain rumah gadang di Sumatra Barat yang tahan gempa, memberikan pelajaran berharga tentang pembangunan berkelanjutan dan ketahanan bencana.
Meskipun saya bukan ahli di bidang tata kota atau IT, saya berharap tulisan ini dapat menjadi pemicu diskusi dan mendorong akademisi serta para ahli untuk merancang konsep serta memberikan solusi konstruktif bagi permasalahan masyarakat. Dengan mengintegrasikan teknologi, kearifan lokal, dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, serta akademisi, Bali dan daerah lain di Indonesia dapat menciptakan kota yang tidak hanya tertata rapi, tetapi juga tangguh terhadap bencana.