berita

Kekuasaan, Korupsi, dan Tantangan di Timor Leste Pasca-Kemerdekaan

Kamis, 18 September 2025 | 13:34 WIB

 

Edisi.co.id – Kekuasaan sering kali memicu korupsi, sebuah pola yang melekat dalam struktur politik dan tidak lenyap meski rezim berganti. Timor Leste, yang merdeka dari Indonesia pada 2002 setelah 24 tahun pendudukan, menghadapi kenyataan ini. Meski telah merdeka lebih dari dua dekade, negara ini masih bergulat dengan kemiskinan yang melanda sekitar 40% penduduk, ketidakstabilan politik, dan korupsi yang mengakar. Generasi Z kini menjadi suara kritis, menggelar protes di Dili pada September 2025 untuk menentang pembelian mobil mewah oleh parlemen, mencerminkan keresahan sosial yang mendalam.

Sejarah Singkat Kemerdekaan Timor Leste

Timor Leste menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah invasi Soeharto pada 7 Desember 1975. Perjuangan berdarah antara milisi Fretilin dan tentara Indonesia berlangsung selama 24 tahun hingga referendum 1999, di mana 78,5% warga memilih merdeka di bawah pengawasan PBB. Kemerdekaan resmi diraih pada 20 Mei 2002. Namun, transisi ini penuh rintangan: ketidakstabilan politik, kekerasan sporadis, dan ekonomi yang bergantung pada minyak dan gas menghambat pembangunan.

Baca Juga: Pertumbuhan atau Pemerataan: Menyikapi Kritik Rocky Gerung kepada Menkeu Purbaya

Kondisi Korupsi Saat Ini

Korupsi di Timor Leste adalah masalah sistemik yang merusak tata kelola. Korupsi muncul dalam bentuk nepotisme, kronisme, dan penyalahgunaan dana publik, terutama di sektor pengadaan barang, distribusi beras, dan pengelolaan Petroleum Fund yang dibentuk pada 2005.

Akar Sosial-Budaya Korupsi

Selain gaji rendah pegawai negeri dan lemahnya penegakan hukum, budaya patronase berbasis klan dan loyalitas keluarga memperparah korupsi. Dalam masyarakat Timor Leste yang masih kuat ikatan kekerabatannya, pejabat sering memprioritaskan keluarga atau kelompok etnis tertentu, mengabaikan meritokrasi.

Contoh kasus korupsi termasuk skandal pembelian pembangkit listrik dari China pada 2008 dan manipulasi tender oleh Menteri Kehakiman Lucia Lobato pada 2012. Upaya anti-korupsi, seperti pembentukan Komisi Anti-Korupsi (ACC) dengan dukungan UNDP dan reformasi fiskal di bawah Perdana Menteri Rui Araujo, menunjukkan kemajuan. Namun, independensi yudisial yang lemah dan kurangnya transparansi anggaran masih menjadi hambatan.

Kekerasan Pasca-Kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, Timor Leste menghadapi krisis yang mengguncang stabilitas. Pada 2006, diskriminasi etnis dalam angkatan bersenjata antara warga timur (Lorosae) dan barat (Loromonu) memicu kerusuhan besar. Petisi 600 tentara pada Januari 2006 atas diskriminasi berujung pada desertasi massal dan bentrokan bersenjata, termasuk pembantaian Caicoli yang menewaskan 8-10 polisi tidak bersenjata.

Krisis ini menyebabkan 37 kematian, 150.000 pengungsi, dan memerlukan intervensi internasional melalui Operasi Astute yang dipimpin Australia. Dampaknya termasuk pengunduran diri Perdana Menteri Mari Alkatiri.

Kekerasan lain terjadi pada 2007-2008, termasuk kerusuhan pemilu 2007 dan upaya pembunuhan terhadap Presiden José Ramos-Horta serta Perdana Menteri Xanana Gusmão pada 2008. Meski situasi relatif stabil sejak 2008, protes ricuh pada September 2025 menunjukkan kerapuhan demokrasi.

Halaman:

Tags

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB