Ia juga menyoroti bahwa kasus kebocoran data terus berulang, meski UU Perlindungan Data Pribadi sudah disahkan sejak 2022 lalu.
“Sayangnya, dari berbagai kasus tersebut, kerap kali tidak ada proses hukum yang akuntabel, dan korban tidak mendapat pemulihan,” terang Wahyudi.
Menurutnya, debat tentang “Bjorka asli” tak penting dalam konteks hukum siber.
“Dalam ruang digital, siapa pun berhak menggunakan identitas apa pun tanpa perlu dikenal asli atau palsu,” tukas Wahyudi.***