Dalam proyek Whoosh, Sulfikar mengatakan ada dua perdebatan yang membayangi, yaitu kebutuhan masyarakat dan siapa yang harus menggarapnya di antara Jepang dengan China.
“Sebenarnya kita tidak butuh (kereta cepat) karena kereta Argo Parahyangan itu bisa ditingkatkan kemampuannya sehingga Jakarta-Bandung terkecil bisa 2 jam dan biayanya cuma 10 persen dari pembangunan Whoosh,” jelas Sulfikar.
“Tapi kemudian ada wacana ini masalah teknologi, national pride, dan Indonesia memutuskan untuk membangun kereta cepat,” lanjutnya.
Mengenai perdebatan siapa yang akan membawa proyek tersebut, yakni antara Jepang dan China, Sulfikar menyatakan keduanya sama-sama mumpuni soal kereta cepat.
“Paling awal melakukan kereta cepat itu Jepang. Shinkansen itu dimulai tahun 1960 dan diluncurkan tahun 1964. Mereka udah lama dan teknologinya terbaik di dunia dengan catatan kecelakaan nol setelah berpuluh-puluh tahun,” terangnya.
Ia kemudian menyebut profit besar yang didapat dari beroperasinya kereta cepat di Jepang hingga mampu memberi subsidi pada kereta lain di bawahnya.
“Jadi, teknologi ini sudah dikuasai Jepang puluhan tahun dan mereka punya keinginan untuk mengekspor teknologi ini. Nah, mereka melihat Indonesia sebagai salah satu pasar yang potensial waktu itu,” tuturnya.
Proyek kereta cepat tersebut akhirnya dikerjakan bersama China dengan konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kemudian membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok, melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd membentuk perusahaan patungan yang dinamakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
***