Oleh: Aay Mohamad Furkon, Pengurus Lembaga Penggerak Ekonomi Umat MUI - Ketua Bidang Maliyah dan Ijtimaiyah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS)
Edisi.co.id, Jakarta - Sejak berdiri pada tahun 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dikenal luas sebagai institusi keagamaan yang berperan dalam penetapan fatwa dan penguatan moral umat. Pada fase awal, perhatian MUI terhadap isu ekonomi masih bersifat normatif, terutama terkait kehalalan produk dan praktik muamalah. Fatwa tentang bunga bank, riba, dan transaksi keuangan menjadi rujukan utama umat Islam. Seiring berkembangnya kompleksitas ekonomi nasional, peran tersebut mulai mengalami perluasan. Data OJK menunjukkan bahwa aset keuangan syariah nasional meningkat dari Rp1.800 triliun pada 2015 menjadi lebih dari Rp2.400 triliun pada 2023. Peningkatan ini menuntut peran ulama yang tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif. MUI kemudian mulai memposisikan diri sebagai bagian dari arsitektur ekonomi syariah nasional. Transformasi ini menunjukkan adanya kesadaran institusional terhadap perubahan zaman. MUI membaca bahwa fatwa saja tidak cukup tanpa dukungan sistem ekonomi yang memadai. Evolusi ini dapat dilihat sebagai respons terhadap dinamika ekonomi umat yang semakin kompleks.
Memasuki dekade 2000-an, MUI mulai memperkuat peran institusionalnya dalam ekonomi melalui pembentukan lembaga-lembaga pendukung. Salah satu tonggak penting adalah pendirian Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang berperan mengawal industri keuangan syariah. Hingga 2022, DSN-MUI telah menerbitkan lebih dari 150 fatwa ekonomi syariah. Fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar operasional perbankan, asuransi, dan pasar modal syariah. Namun, di sisi lain, data BPS menunjukkan bahwa 99 persen unit usaha di Indonesia adalah UMKM. Fakta ini menegaskan bahwa ekonomi umat tidak hanya berada di sektor keuangan formal. MUI kemudian menyadari adanya kesenjangan antara regulasi syariah dan pemberdayaan ekonomi riil. Kesadaran ini mendorong lahirnya pendekatan yang lebih substantif. MUI mulai melihat ekonomi sebagai medan dakwah sosial. Perubahan orientasi ini mencerminkan evolusi peran dari normatif ke transformatif.
Baca Juga: Jejak Ari Kurniawan, Relawan PMI Kota Tangerang, di Balik Truk Tangk di Tengah Banjir Bandang Aceh
Evolusi peran MUI dalam isu ekonomi juga dipengaruhi oleh tantangan ketimpangan dan kemiskinan. Data BPS tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 9,36 persen penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar dari kelompok ini adalah masyarakat Muslim di sektor informal. Kondisi tersebut menuntut pendekatan keagamaan yang lebih solutif. MUI mulai merefleksikan perannya sebagai institusi umat, bukan sekadar lembaga fatwa. Refleksi ini melahirkan paradigma baru bahwa ekonomi adalah bagian dari tanggung jawab keumatan. Fatwa dipahami sebagai instrumen awal, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah kemaslahatan sosial dan kemandirian umat. MUI kemudian mendorong integrasi antara nilai, kebijakan, dan aksi nyata. Evolusi ini menunjukkan kematangan institusional MUI. Literatur ekonomi Islam menegaskan bahwa peran ulama harus adaptif terhadap konteks sosial.
Raker LPEU sebagai Momentum Perubahan Paradigma
Rapat Kerja (Raker) Lembaga Penggerak Ekonomi Umat MUI (LPEU MUI) menjadi momentum penting dalam transformasi peran MUI di bidang ekonomi. Raker tidak hanya berfungsi sebagai agenda rutin organisasi, tetapi juga sebagai ruang refleksi institusional. Dalam forum ini, MUI mengevaluasi efektivitas pendekatan ekonomi yang telah dijalankan. Data internal MUI menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen program ekonomi umat sebelumnya bersifat sektoral. Fragmentasi ini dinilai mengurangi dampak jangka panjang. Raker LPEU kemudian mendorong perubahan paradigma menuju pendekatan ekosistem. Pendekatan ini menekankan kolaborasi lintas aktor dan keberlanjutan. Ulama, koperasi, UMKM, dan lembaga keuangan syariah diposisikan dalam satu kerangka besar. Raker menjadi titik temu antara refleksi nilai dan strategi aksi. Momentum ini memperkuat arah baru ekonomi umat. Beberapa kajian organisasi menekankan pentingnya forum reflektif dalam perubahan institusi.
Dalam Raker LPEU, terjadi pergeseran cara pandang terhadap peran kelembagaan MUI. Jika sebelumnya MUI lebih berfungsi sebagai pemberi legitimasi normatif, kini peran tersebut diperluas menjadi fasilitator dan enabler. Raker menegaskan bahwa MUI harus hadir lebih dekat dengan pelaku ekonomi umat. Data BPS menunjukkan bahwa UMKM menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional. Angka ini menunjukkan besarnya potensi dampak jika pemberdayaan dilakukan secara sistematis. Raker LPEU merumuskan strategi penguatan koperasi sebagai basis ekonomi umat. Koperasi dipilih karena memiliki kesesuaian dengan prinsip keadilan dan kebersamaan. Raker juga mendorong sinergi dengan lembaga keuangan syariah. Perubahan paradigma ini menuntut peningkatan kapasitas kelembagaan. Raker menjadi titik awal konsolidasi peran tersebut. Transformasi ini sejalan dengan teori perubahan organisasi berbasis visi bersama.
Momentum Raker LPEU juga terlihat dari penekanan pada orientasi hasil dan dampak. MUI mulai mengukur keberhasilan program ekonomi umat secara lebih kuantitatif. Indikator seperti jumlah UMKM binaan, koperasi aktif, dan akses pembiayaan menjadi perhatian utama. Data KNEKS menunjukkan bahwa literasi ekonomi syariah nasional baru mencapai sekitar 23 persen pada 2022. Fakta ini mendorong MUI untuk memperkuat peran edukatif sekaligus praktis. Raker LPEU menekankan pentingnya integrasi literasi dan pemberdayaan. Ulama tidak hanya menyampaikan ceramah, tetapi juga mendampingi program ekonomi. Pendekatan ini memperkuat relevansi MUI di tengah masyarakat. Raker menjadi simbol transisi dari wacana ke implementasi. Perubahan paradigma ini bersifat gradual namun signifikan. Literatur kebijakan publik menyebut momentum internal sebagai kunci reformasi institusi.
MUI sebagai Moral Compass sekaligus Economic Enabler
Dalam paradigma baru, MUI memposisikan diri sebagai moral compass sekaliguspendukung ekonomi (economic enabler). Sebagai moral compass, MUI menjaga arah nilai agar aktivitas ekonomi tetap berlandaskan prinsip keadilan dan kehalalan. Sebagai economic enabler, MUI mendorong terciptanya ekosistem yang memungkinkan umat berdaya secara ekonomi. Dua peran ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Data OJK menunjukkan bahwa kepercayaan publik menjadi faktor utama pertumbuhan industri keuangan syariah. Kepercayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh legitimasi ulama. MUI memanfaatkan modal moral ini untuk mendorong partisipasi ekonomi umat. Fatwa menjadi landasan, sementara program menjadi wujud aksi. Pendekatan ini memperkuat hubungan antara nilai dan praktik. MUI tidak terjebak dalam simbolisme normatif. Peran ganda ini sejalan dengan konsep ulama sebagai agen perubahan sosial.
Baca Juga: Momen Ibu-ibu Agam Sumbar Kompak Nyanyikan Indonesia Raya saat Ditengok Prabowo di Pengungsian
Sebagai economic enabler, MUI melalui LPEU mendorong terbentuknya ekosistem ekonomi berbasis koperasi dan UMKM. Data Kementerian Koperasi menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 127 ribu koperasi aktif di Indonesia pada 2023. Namun, hanya sebagian kecil yang terintegrasi dengan sistem keuangan syariah. MUI melihat celah ini sebagai peluang strategis. Dengan pendekatan kelembagaan, MUI mendorong koperasi syariah menjadi agregator UMKM. Lembaga keuangan syariah dilibatkan untuk menyediakan pembiayaan berkelanjutan. Ulama berperan menjaga tata kelola dan etika usaha. Pendekatan ini meningkatkan inklusi keuangan umat. Data OJK mencatat peningkatan inklusi keuangan syariah dari 9 persen pada 2019 menjadi sekitar 12 persen pada 2023. MUI berperan dalam akselerasi angka tersebut. Literatur pembangunan menegaskan pentingnya intermediary institution dalam inklusi ekonomi.