Edisi.co.id - Pada tanggal 5 Februari 1947, sebuah organisasi mahasiswa bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di kampus Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Lafran Pane, mahasiswa asal Kampung Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, adalah penggagas sekaligus pendiri HMI bersama 13 temannya yang berasal dari sejumlah daerah.
Baca Juga: China Protes Keras Penembakan Pesawat Nirawaknya Oleh AS
Masing-masing Kartolo Zarkazy dari Ambarawa, Dahlan Huzain (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan), Suwali (Jember), Yusdi Gazali (Semarang), Mansur (Palembang), Siti Zainab (Palembang), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (surakarta), Zulkarnain (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), dan Bidron Hadi (Kauman).
Menurut Agussalim Sitompul dalam buku "Sejarang Pemikiran HMI dan Relvansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa", gagasan ke-14 mahasiswa membentuk organisasi kemahasiswaan itu tidak lepas dari situasi dan kondisi umat Islam, bangsa Indonesia, dan kondisi perguruan tinggi.
Itulah yang melatarbelakangi pada saat organisasi tersebut didirikan.
Baca Juga: Kasus Gagal Ginjal Anak Terjadi Lagi di Jakarta, Satu Orang Meninggal
Kala itu, Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun, Indonesia belum sepenuhnya bebas karena sekutu penjajah Belanda masih berupaya menguasai kembali Indonesia sehingga dipandang perlu untuk melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lafran Pane dan teman-temannya memandang bahwa peran elemen mahasiswa dalam ikut mempertahankan kemerdekaan bangsa perlu dioptimalkan, terutama dari unsur mahasiswa Islam.
Dari sisi umat Islam, Lafran Pane memandang perlu upaya pembaruan dan penguatan peran dan kebersamaan.
Sebab, menurut hasil kajian Lafran Pane dan kawan-kawan, situasi dan kondisi umat Islam mengenai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam menyebutkan bahwa walaupun Islam merupakan agama yang mampu mengatur kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat, banyak kaum terpelajar merasa malu untuk mengaku terang-terangan bahwa ia beragama Islam.
Baca Juga: Nangis sampai Gemetaran, Warga Bali Mendadak Didatangi Jokowi
Bahkan, demikian dalam buku itu, ada yang mengatakan bahwa agama Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan rendah.
Sementara, Belanda dan bangsa-bangsa di negara Barat lainnya dianggap lebih tinggi dan lebih baik.