Edisi.co.id, Sulawesi Selatan - Muhammadiyah turut terlibat menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan. Dalam membantu mengatasi pandemi Covid-19 misalnya, Muhammadiyah melibatkan 116 rumah sakit, dengan mengucurkan anggaran lebih dari Rp1 triliun.
Keterlibatan Muhammadiyah di bidang kesehatan, bukan sekadar bersifat reaktif dan sporadis. Persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini, memiliki 12 Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM).
“Dengan kata lain, Muhammadiyah merupakan lembaga pencetak dokter terbesar di Indonesia. Orang bisa saja tidak senang dengan Muhammadiyah, namun mereka tidak bisa membantah kiprah Muhammadiyah yang mencetak SDM Kesehatan yang tersebar di berbagai penjuru nusantara,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti.
Baca Juga: Gus Qoyyum: Kehadiran MUI Dibutuhkan untuk Jaga Agama dan Kebaikan Bangsa
Hal itu kemukakan pada acara Silaturrahim dan Kuliah Tamu yang dihadiri pengurus Muhammadiyah Sulsel dan puluhan civitas akademika Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, di Ruang Rrapat Senat, lantai 17 Menara Iqra, Kampus Unismuh, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Sabtu, 08 Januari 2022.
Abdul Mu’ti mengatakan, beberapa media internasional mulai menyadari bahwa organisasi keagamaan bukan sekadar mengurusi persoalan spiritual, melainkan mampu memberikan dampak sosial yang nyata.
“Hingga saat ini, Muhammadiyah masih terus mendampingi para penyintas gempa di Kabupaten Selayar yang terkena gempa berkekuatan 7,5 skala richter pertengahan Desember tahun lalu. Muhamamdiyah sedang membangun 250 hunian darurat bagi masyarakat yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa,” ungkap Mu’ti.
Baca Juga: Awali Semester Genap, SMP PCI Siapkan Ragam Kegiatan Menarik Bagi Siswa
Dengan cara itulah, kata Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammadiyah membangun bangsa dan bukan sekadar berteriak dan mengkritik pemerintah.
“Selama ini banyak yang bilang bahwa Muhammadiyah ini tidak kritis ke pemerintah, padahal tidak semua langkah yang dilakukan Muhammadiyah harus kita publikasikan,” kata Mu’ti yang mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
Mu’ti menyebut, AR Fachruddin saat memimpin Muhammadiyah di Era Orde Baru, tidak pernah mengkritik Soeharto di depan umum. Namun, ia sering menulis surat kritik dengan menggunakan Bahasa Jawa Kromo, atau Bahasa Jawa dengan tingkat kehalusan yang tinggi.
Pada era kepemimpinan PP Muhamamdiyah saat ini, kata Mu’ti, model AR Fachruddin juga kerap digunakan.
“Saat menyampaikan masukan soal UU Omnibus Law, PP Muhammadiyah menemui Pak Jokowi memberikan masukan. Meski tak semua masukan kami didengar, setidaknya ada lima Undang-Undang yang tidak jadi masuk Omnibus Law, termasuk urusan pendidikan,” tutur Mu’ti.
Artikel Terkait
Gus Qoyyum: Kehadiran MUI Dibutuhkan untuk Jaga Agama dan Kebaikan Bangsa
Tingkatkan Pelayanan dan Lebih Mendekatkan dengan Konsumen, JNE Tangerang Resmikan Smart Point Maloko Cisauk
Syukuran dan Santuni Anak Yatim, Tanda Diresmikannya Kantor JNE Smart Point Maloko Cisauk Kab Tangerang
Awali Semester Genap, SMP PCI Siapkan Ragam Kegiatan Menarik Bagi Siswa