Oleh : Dr. Asep Ajidin, MH*
Edisi.co.id - Katanya kita mengakui tidak ada yang kita punya, tidak ada yang kita miliki. Mata, bukan mata kita. Telinga bukan telinga kita. Bibir bukan bibir kita. Kaki dan tangan, bukan tangan dan kaki kita. Harta bukan harta kita. Anak bukan mutlak anak kita. Pangkat bukan pangkat kita. Jabatan bukan jabatan kita. Sehingga kita mengakui juga kapanpun milik yang bukan milik kita itu diambil kita harus ridha, harus ikhlas. Tapi nyatanya ketika sesuatu berkurang dari sisi kita, kita sedih, kita menangis, kecewa bahkan marah dan putus asa dengan keadaan.
Bahkan, mestinya kesadaran bahwa tidak ada yang kita miliki, termasuk badan dan panca indra kita, harus membawa kita pada penggunaan yang sesuai dengan keinginan Sang Pemberi. Kita sama tahu bahwa Dia menginginkan agar pemberian-Nya digunakan untuk hal-hal yang baik-baik. Mata digunakan untuk hal yang baik-baik, digunakan untuk melihat keadilan agar bisa menghancurkan kebatilan, untuk melihat penderitaan agar tergerak meringankan beban yang diderita, dan seterusnya. Penggunaan fasilitas pinjaman dari Tuhan, Zat Yang Maha Memberi pada jalan yang tidak dikehendaki akan menyebabkan dicabutnya rahmat dan kenikmatan.
Saat menderita penyakit dan kesusahan, hendak-nya menangkap pesan di baliknya. Kebanyakan penyakit itu berawal dari kerusakan hati, keburukan sikap dan sifat. Sehingga kalau mau sembuh, cara gampang dan murahnya adalah membersihkan hati dan memperbaiki kelakuan.
Musibah dan penderitaan sesungguhnya bukanlah berupa datangnya penyakit, tapi berupa kekufuran akan nikmat-Nya. Bukanlah musibah itu buta mata, tapi buta hati. Bukan musibah disebutnya bila sekadar hilang kaki, tapi yang dinamakan musibah ketika kita kehilangan iman.
Kita-kita ini secara jujur suka sedih kalau kehilangan harta. Kadang bahkan tidak peduli apakah harta yang hilang itu adalah harta yang kita dapatkan lewat cara yang halal atau cara yang haram. Andai harta itu ada, kita suka enggan mengeluarkan sedekah dan zakat. Padahal musibah sebenarnya adalah keengganan mengeluarkan sedekah dan zakat tadi. Maka, ketika kita kehilangan harta, sesungguhnya yang demikian itu justru menjadi anugerah. Sebab dengan hilangnya harta, kita jadi ingat dengan sedekah dan zakat. Kelak, ketika kita beroleh harta lagi, kita menjadi orang yang berharta dan juga ingat akan haknya orang lain. Jadilah pengalaman kehilangan harta sebagai pengalaman yang penuh rahmat, bukan pengalaman buruk yang sering dinisbahkan sebagai musibah.
Pada saat sakit, kita menganggapnya musibah. Apalagi kalau sakitnya itu adalah sakit keras, yang kadang bisa berujung kepada kematian. Sementara itu kita tidak sadar, ketika kita sehat, kita tiada kunjung ingat Allah. Justru ketika sakit inilah Allah bisa kita ingat, mata ini bisa berair mengingat keburukan. Maka, datangnya penyakit ini bukanlah musibah adanya. Ia justru menjadi anugerah. Anugerah yang membawa kita pada kedekatan kita kepada Allah.
Pada saat kita bangkrut, kita menganggapnya sebagai musibah. Di mata Allah, ia bukanlah musibah, melainkan peringatan. Bagaimana tidak, ketika kejayaan melekat di kehidupan kita, kita jauh sama Allah dan dekat dengan kemaksiatan. Apalagi dengan banyaknya uang yang membuat kita terfasilitasi dan mudah bermaksiat. Akhirnya kebangkrutan datang, dan kita tidak mampu lagi bermaksiat. Kebangkrutan seperti ini memanglah bukan musibah. Ia adalah anugerah. Sebab kita bangkrut, kita menjadi berpeluang dekat dengan Allah dan meninggalkan keburukan. Kelak ketika kebangkrutan hilang dan kejayaan datang, kita menjadi manusia-manusia yang arif dalam memanfaatkan kejayaan dan kesenangan untuk kebaikan.
Penulis adalah Tenaga Ahli Bupati Solok Bidang Pendidikan dan Bintal.
Sekretaris Tasykil PW Persatuan Islam Propinsi Sumatera Barat.