Oleh: Jeje Zaenudin
Edisi.co.id - Ketika memulai menulis tema ini, saya lama termenung. Ternyata tidak mudah untuk menemukan rumusan apa yang sesungguhnya bisa diklaim sebagai “gagasan besar Persis” itu. Apa dan siapa yang representatif untuk menjadi referensinya. Apakah pemikiran personal dari para pendiri, tokoh, dan para pemimpinnya, ataukah apa yang tertuang dalam Qanun Asasi?
Pilihan saya akhirnya jatuh kepada Qanun Asasi Jam'iyyah Persis sebagai rujukan menemukan rumusan gagasan besar itu, dengan argumen bahwa pemikiran-pemikiran cemerlang dari para tokoh dan pimpinan Persis selama belum dilegitimasi sebagai ketetapan dan keputusan Jam’iyyah tidak dapat dikatakan sebagai gagasan atau pemikiran institusi yang resmi. Dan nyatanya sampai sekarang sependek yang saya tahu, belum ada pemikiran komprehensif tentang “Blue Print” gerakan Jam'iyyah Persis yang telah disahkan oleh Jam’iyyah secara resmi.
Kalaupun Tuan KH. Isa Anshari dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pimpinan di PP. Persis pada masanya pernah menuliskan Manifest Perjuangan Persatuan Islam dan diterima secara aklamasi dalam Muktamar 1957 tetapi pada periode-periode kepemimpinan berikutnya tidak jelas kedudukan dan keberadaannya dalam Jam’iyyah. Sejatinya Manifest Perjuangan Persatuan Islam itu senantiasa dilegitimasi ulang dan disempurnakan pada Muktamar-Muktamar berikutnya.
Pada faktanya hanya Qanun Asasi dan Qanun Dakhili yang mempunyai legitimasi terkuat di tubuh Jam'iyyah karena ia senantiasa diupdate setiap lima tahun sekali kemudian diputuskan dalam musyawarah tertinggi Jam'iyyah yaitu Muktamar.
*Background Sejarah*
Berdirinya Persatuan Islam tentu tidak berada di ruang hampa, melainkan dalam konteks sosial dan setting sejarah yang konkrit. Maka apa yang dibicarakan dan dicita-citakan oleh para pendiri dan tokoh pimpinan Persis mencerminkan konteks dan setting sosial tersebut serta harapan-harapan kondisi masa depan yang diidealkan.
Pada awal abad ke dua puluh dapat dikatakan sebagai fase penjelmaan gerakan kesadaran dan kebangkitan Islam dalam bentuk gerakan dakwah yang dilembagakan dalam wadah organisasi masyarakat sesuai dengan trend baru masa itu.
Sebelumnya gerakan penyadaran dan kebangkitan Islam dipelopori dan digerakan secara individual atau kumunitas yang tidak terorganisir dalam ormas. Seperti gerakan panislamismenya Jamaludin Al Afgani dan Muhammad Abduh.
Jauh sebelum akhir abad ke dua puluh sebenarnya kesadaran para ulama atas kemunduran dunia Islam sudah mulai bersemi. Terutama kemunduran di bidang pemikiran agama dan ketertinggalan di dunia ilmu pengetahuan, ekonomi dan militer pasca serbuan pasukan Mongol yang menghancurkan pusat peradaban dan ibu kota kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad.
Kesultanan Turki Usmani yang berusaha menggantikan peran kekhalifahan Abbasiyah tidak sanggup mengontrol dan melindungi negeri-negeri muslim yang telah banyak terlepas dan satu persatu jatuh ke tangan kaum penjajah barat. Terutama yang sangat jauh dari pusat kekuasaan khalifah seperti kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
Pada awal abad ke dua puluh, kemunduran supremasi dunia Islam itu semakin lengkap dengan dibubarkannya kekhilafahan Turki Usmani dan beralih ke sistem sekuler pada tahun 1924. Maka keterpurukan dunia Islam yang sejak beberapa abad sebelumnya dirasakan di bidang ilmu dan keagamaan sekarang sempurna dengan keterpurukan simbol kekuasaan politik formal.
Hilangnya kekuasaan politik formal dunia Islam dan terjerumusnya sebagian besar negeri muslim di Asia dan Afrika ke dalam cengkeraman kolonialisasi bangsa Kristen Barat membangunkan kesadaran kolektif para pemikir dan tokoh pergerakan muslim dunia bahwa ada yang salah dalam pemikiran dan perilaku keagamaan umat Islam. Maka berbagai kajian dan penyelidikan atas kemunduran dunia Islam itu dilakukan. Seperti yang tercermin dari beberapa karya intelektual musim masa itu umpamanya buku “Limadzaa Taakharal Muslimun wa taqaddama ghaeruhum” karya Syekh Sgakib Arsalan yang terinspirasi pertanyaan seorang ulama Islam dari Sambas, Indonesia, atau buku "Madza khasira al dunya bi inkhithâtil muslimin" karya Syekh Abul Hasan Ali an Nadwi, menegaskan tesis dan kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa keruntuhan peradaban Islam itu diantaranya yang paling utamanya adalah karena umat Islam telah jauh meninggalkan pimpinan kitab sucinya Al-Quran dan tuntunan Sunnah Nabinya, beralih kepada mengikuti pemikiran dan pengamalan ajaran yang justru tidak bersumber dari keduanya.
Dari kesimpulan itulah maka gerakan mengembalikan umat kepada ajaran Kitab dan Sunnah serta membersihkan ajaran Islam dari syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah menjadi gerakan yang sangat vokal dan menggairahkan. Maka kitab-kitab para tokoh pemurnian Islam dari abad sebelumnya menjadi kajian utama. Seperti pemikiran-pemikiran puritanisme Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayim, hingga syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Nejed Saudi Arabia.
Walaupun tidak semua ulama dan pemikir Islam pada masa itu setuju dengan penyebab kemunduran Islam itu karena terjerumus kepada adat istiadat yang tidak Islami dan meninggalkan Quran dan Hadits, karena gerakan itu dianggap gerakan yang anti madzhab dan tidak menghargai para ulama terdahulu, tetapi semuanya sepakat bahwa dunia Islam memang sangat jauh tertinggal dan terpuruk sangat dalam. Karena itu semua gerakan dan ormas Islam sepakat mengenai wajibnya memperjuangkan kebangkitan kembali Islam walaupun dengan penekanan perjuangan yang berbeda.
Para tokoh pendiri dan pimpinan Persatuan Islam dapat dipastikan tidaklah lepas dari konteks sosial dan dinamika pemikiran dunia Islam seperti itu. Maka gagasan pembaharuan dan pemurnian Islam itu tersimpul dalam jargon “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”. Jargon atau moto gerakan ini bukan istimewa untuk PERSIS melainkan jargon semua gerakan pemurnian di seluruh dunia. Keistemewaannya di PERSIS adalah karena ketegasan dan kejelasannya dalam merumuskan dan mengimplementasikan gagasan kembali kepada Al-Quran dan hadits dalam bidang Aqidah dan Ibadah (atau tepatnya fikih ibadah) sehingga melahirkan produk pemikiran yang murni di bidang fikih dengan mengacu langsung kepada Al-Quran dan hadits kemudian beriijtihad tanpa berpegang kepada salah satu madzhab yang ada.
Jargon “Kembali kepada All-Quran dan Hadits” dengan stressingnya aspek pemurnian akidah dan fikih ubudiyah, memang sangat kontroversial untuk masa itu. Maka tidak mengherankan jika gerakan pemikiran Persatuan Islam yang dituangkan dalam berbagai media massa yang diterbitkannya mendapat respon yang sangat besar, baik yang antusias mengikutinya maupun yang antusias menentangnya. Inilah salah satu penyebabnya yang menjadikan suara Persatuan Islam terdengar sangat nyaring melampaui struktur organisasi dan jumlah pengikutnya yang masih amat sedikit dibanding dengan ormas-ormas besar yang ada pada saat itu seperti SI, Muhamadiyah, dan NU.
Demikian dominannya kajian dan produk pemikiran di bidang ikhtilaf dan pemurnian fikih ini sebagaimana terlihat salah satu contohnya dari kitab Soal Jawab A. Hassan dan kumpulan fatwa di Majalah Risalah. Dampak negatif dari kesan seperti ini yaitu bahwa gerakan Kembali kepada Al-Quran dan Hadits dan gerakan Pemurnian Islam yang diperjuangkan PERSIS sering dipahami secara simplistis dan parsial oleh para peneliti dan para pengikutnya menjadi gerakan Pemurnian Fikih, atau gerakan Fikih Tanpa Mazhab, Fikih Quran-Sunnah. Ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab kesalahpahaman terhadap PERSIS yang melahirkan tuduhan bahwa PERSIS adalah ormas fikih mainded, fikih sentris, dan sebagainya. Sehingga aspek-aspek lain dari ajaran Al-Quran dan Hadits seakan bukan menjadi bagian dari tujuan pemurnian gerakan Persis. Sehingga ketika sudah banyak gerakan dakwah yang sefaham dengan PERSIS bahkan lebih keras dan dan kaku dalam penerapan pemahaman fikih atas nama kembali kepada Quran dan Sunnah dengan pemahaman yang lebih ketat yaitu berdasar Faham Salaf, ghirah warga Jam'iyyah seperti jadi buyar dan kehilangan arah seakan tidak ada lagi “Jargon Identitas” yang bisa diklaim secara ekslusif.
Padahal dengan didirikannya Jam'iyyah Persis sebagai wadah gerakan dakwah, sebagaimana juga ormas-ormas pembaharuan yang lainnya seperti Muhammadiyah, adalah mengembalikan kejayaan Islam dengan mengembalikan umatnya kepada pimpinan Quran dan Sunnah. Sebab tegaknya Islam karena tegaknya masyarakat Islam, tegaknya masyarakat karena tegaknya individu, dan tegaknya individu karena tegaknya Ilmu Islam yang benar. Karena itu maka dakwah dan pendidikan menjadi bidang dan lapangan perjuangan yang utama.
Dalam perjalanan sejarahnya Jam'iyyah Persis sukses merumuskan paradigma dan manhaj ijithad fikihnya dengan ditetapkannya buku panduan "Thuruqul Istinbath" dan terlembagakan lembaga fatwa menjadi Dewan Hisbah. Pada saat bersamaan Jam'iyyah PERSIS belum melahirkan manhaj Aqidahnya secara komprehensif. Lebih jauh lagi belum terumuskan secara tertulis dan baku tentang manhaj harakah dan manhaj dakwahnya secara syumul dan tafshil. Namun bukan berarti tidak ada manhaj sama sekali, dengan tidak dirumuskan itu berarti bahwa konsep umum tantang dakwah dan harakah kembalikan secara langsung kepada Al-Quran dan Hadits Nabi.
*Cita besar dan jalan mencapainya*
Cita besar gerakan Jam'iyyah yang legitimated adalah apa yang tertuang dalam tujuan Jam'iyyah dan terwariskan dari generasi ke generasi, dari periode ke periode kepemimpinan, sebagaimana tertuang dalam Qanun Asasinya. Yaitu bahwa Jam'iyyah ini bertujuan “Terlaksananya syariat Islam dalam segala aspek kehidupan secara kaffah berdasarkan Al-Quran dan Hadits”.
Berbicara aspek kehidupan yang hendak dikembalikan kepada tuntunan Al-Quran dan Hadits itu tentunya sangatlah luas. Mencakup dimensi aqidah, ibadah mahdhah, dan muamalah. Baik muamalah iqtishadiyah maupun muamalah siyasah. Namun untuk mencapai cita-cita besar tersebut, ternyata menghadapi tantangan besar dari luar dan dari dalam: Penjajah dan realitas ekonomi, politik, dan kesadaran serta ilmu keagamaan umat yang masih sangat rendah.
Maka dipilihlah target perjuangan yang lebih realistis dan sangat mendesak. Yaitu dakwah pemurnian ajaran Islam kepada umat. Ajaran Islam yang paling dominan pada kehidupan seorang muslim adalah aqidah dan ibadah mahdhoh. Maka wajarlah jika tema dakwah Jam'iyyah mendapat porsi besar diarahkan kepada gerakan pemurnian fikih. Tema-tema dakwah Jam'iyyah di bidang ideologi politik sampai pada tahun 1960 an juga masih sering menghiasi forum dakwah, mimbar Jum'at, tablig akbar, dan media massa Jam'iyyah PERSIS sebagai respon yang semestinya atas situasi sosial politik yang harus dihadapi para Pimpinan Jam'iyyah.
Para Pimpinan PERSIS yakin bahwa dakwah membutuhkan kekuatan segala unsur. Kekuatan membutuhkan pengorganisasian. Maka berjamaah secara formal membutuhkan lembaga organisasi. Organisasi yang formal tentu saja membutuhkan legalitas kekuasaan. Maka menjadi kebutuhan untuk mendaftarkan Persis ke badan kehakiman Pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Pada tahap awal konsentrasi gerakan PERSIS lebih kepada nasyrul fikroh, penyebarluasan pemikiran. Kekuatannya ada pada figur-figur individual yang mumpuni, kharismatik, dan nama besar. Namun kurang dan lemah dalam pembangunan dan pengembangan struktur dan infrastruktur jam'iyyah. Dengan nama-nama besar dan suara yang nyaring tetapi rumah Jam'iyyah dan penghuni organisasinya masih sangat sedikit.
Sebelum terealisasinya cita-cita besar yaitu mewujudkan masyarakat muslim yang bersyariah secara kaffah, maka harus ada dulu intisari masyarakat muslim yang siap menjadi “Ummat Pelopor”. Maka lahirlah jargon atau ungkapan “Shuratun Mushagharatun Anil Islam..” mereka itu terdiri dari “Barisan ulama, zuama, ashabun dan hawariyun Islam” yang siap menjadi “mujahid” di medan perjuangan dakwah dan perang fisik dan menjadi “Mujtahid” yang berperang pada tataran pemikiran dan dakwah. Dengan para pimpinan dan para kader Jam'iyyahnya yang punya karakteristik seperti di atas itulah maka diharapkan PERSIS menjadi satu “Jam’iyyah yang berwawasan al Jamaah” atau dengan ungkapan lain, “Al Jamiyah taqumu maqama al daulat”.
Untuk mencapai gagasan besar itu, maka material yang pertama dan utama serta terpenting adalah ketersediaan sumber daya insani yang memadai. Jalan utama untuk mempersiapkan itu semua adalah “Pendidikan”. Pada tahap berikutnya pendidikan yang layak dan berkualitas juga membutuhan dukungan finansial yang memadai pula. Maka karena itu pemberdayaan ekonomi umat juga menjadi suatu keharusan yang mendesak.
Maka seluruh unsur, elemen, struktur, dan usaha Jam'iyyah dibuat, dirancang, dikordinasikan dan digerakkan untuk menuju terwujudnya cita-cita besar yaitu Terlaksananya syariat Islam dalam segala aspek kehidupan secara kaffah berdasar Quran dan Sunnah.
Konsep bersyariat “secara kaffah” tentu saja mengacu kepada praktek syariah di masa Nabi, yaitu mencakup aqidah, ubudiyah, muamalah, dan akhlak dalam tataran individu, keluarga, dan masyarakat. Sehingga terwujudlah aqidah salimah, ibadah sahihah dan akhlakul karimah yang menjadi fondasi bangunan Masyarakat Muslim Indonesia yang Ideal.
*Khatimah*
Dari alur pemikiran di atas, saya berpendapat bahwa pada tataran filosofis, teoritis, dan normatif sudah cukup memadai tersedia dalam warisan pemikiran para pemimpin dan pendiri Jam'iyyah PERSIS untuk mecapai cita besar Persatuan Islam. Yang dibutuhkan saat ini adalah rumusan _Blue Print_ dan Manhaj Harakah Jam'iyyah yang syamil-mutakamil, utuh dan lengkap sesuai dan sejalan dengan konteks zamannya. Sehingga seluruh bidang yang menjadi instrumen gerakan dakwah Jam'iyyah di bidang Pendidikan, Dakwah, Ekonomi, Siyasah, I’lamiyah, dan semuanya secara integral menuju kepada perwujudan cita-cita besarnya, yaitu “Masyarakat yang bersyariah secara kafah”. Wallahu A’lam