Edisi.co.id - Terkait kontroversi yang berkembang di masyarakat tentang pemahaman mengenai sexual consent dan efektivitas sexual consent dalam menekan angka kejahatan seksual di kampus dan lingkungan masyarakat, dengan ini The Center for Gender Studies sebagai lembaga yang konsen melakukan kajian kritis Feminisme dan Gender menyatakan:
1. Pemahaman mengenai sexual consent sebagai “ kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan kegiatan seksual” sesungguhnya bersifat kontraproduktif jika dijadikan asas pencegahan kejahatan seksual. Sebab, pada hakikatnya tubuh tidak memiliki tujuan akan dirinya, sehingga setiap aktivitas seksual yang melibatkan dua tubuh pastilah sudah didasarkan kesadaran (daya kognitif) yang merasionalisasi kehendak (dorongan jiwa) untuk berhubungan seksual sebagai dasar kesepakatan kedua pihak. Akan tetapi, tingkat kesadaran masing-masing individu tersebut akan berbeda berdasarkan lingkungan dan pengetahuan seksualitas mereka. Sehingga untuk perlindungan masyarakat secara global dan universal, diperlukan skema kontraktual legal yang mendahului “kesepakatan” sebagai asas pencegahan kejahatan seksual.
2. Asumsi bahwa “manusia sepenuhnya berkuasa atas tubuh mereka sehingga otoritas tubuh mutlak sebagai asas sexual consent ” bertentangan dengan hakikat tubuh yang terikat dengan hukum sebab-akibat semesta. Hal ini berkaitan dengan dualitas tubuh sebagai entitas di alam yang berperan sebagai sebab sekaligus akibat atas segala keteraturan alam. Dualitas tubuh juga terjadi ketika manusia melakukan aktivitas seksual; dia bisa menjadi subjek sekaligus objek secara bersamaan (memegang sekaligus dipegang, misalnya), sehingga klaim bahwa tubuh sepenuhnya berkuasa atau menjadi subjek atas dirinya secara hakikat dibantah oleh pengalaman ketubuhan itu sendiri.
3. Pemahaman bahwa “ consent bersifat reversible sehingga dapat dibatalkan sewaktu-waktu" tentu sangat bermasalah jika dijadikan sebagai asas pencegahan kejahatan seksual karena tubuh manusia secara hakikat memiliki keterbatasan dalam mengelola respon fisiologis. Tubuh akan menampilkan respon yang koheren dengan hukum sebab-akibat atas perlakuan yang diterimanya. Dalam aktivitas seksual, hukum sebab-akibat bekerja melalui otak yang memproses gambaran kebahagiaan dan kenikmatan individu dalam bentuk fisik. Proses tersebut berjalan seiring perkembangan psikis dan fisik selama berhubungan seksual. Tubuh secara alamiah akan terus menyetujui proses kognitif kenikmatan sekalipun di tengah hubungan dia ingin membatalkan persetujuan. Dengan pengalaman tubuh seperti itu, menjadikan consent yang fluid sebagai asas kunci pencegahan kejahatan di tengah aktivitas seksual menjadi mustahil sebab bertentangan dengan respon inderawi yang diberikan tubuh.
4. Kejahatan seksual merupakan perusakan sistemik atas keterbatasan pilihan dan pengalaman ketubuhan manusia yang mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupannya. Sehingga untuk mencegah dan menangani permasalahan tersebut diperlukan pendekatan yang melampaui aspek internal ketubuhan. Yakni melalui penghubungan pengalaman ketubuhan individu tersebut dengan relasi di luar ketubuhannya, seperti etika keagamaan dan kebangsaan. Hanya dengan begitu aktivitas seksual seseorang dapat mencapai kesehatan serta kebahagiaan jiwa dan raga. (Hlh/Rls)