Edisi.co.id - Jakarta, Ditengah lesunya daya beli masyarakat akibat pandemi dan resesi ekonomi yang dialami negara kita seharusnya regulasi difokuskan untuk menggerakkan roda ekonomi agar daya beli masyarakat bisa meningkat. Namun yang terjadi sebaliknya, ini terlihat dari Peraturan Gubernur (Pergub) No 148/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Pergub ini membatasi ruang gerak perusahaan penyedia melalui aturan yang berada dalam pasal-pasal Pergub tersebut.
Menanggapi hal tersebut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Reklame Indonesia (Aprindo) Ical Syamsudin, Sos, mengkhawatirkan iklim investasi akan lesu akibat dari Pergub tersebut.
"Pergub itu mengatur kawasan penyelenggaraan reklame dibagi menjadi empat kawasan yaitu kawasan kendali ketat, kawasan kendali sedang, dan kawasan kendali rendah serta kawasan kendali khusus. Peraturan penyelenggaraan reklame di kawasan kendali ketat dibatasi hanya pada reklame-reklame yang menempel di dinding atau di atas gedung dan harus digital," ujar Ical, Senin (21/11/2020).
Ditambahkan Ical, pembatasan jenis reklame di kawasan kendali ketat tersebut memberatkan dunia usaha reklame, terutama perusahaan-perusahaan yang belum mampu menyelenggarakan reklame digital.
"Jangan ada monopoli penyelenggara reklame karena akan menghambat investasi dan membuka ruang kongkalingkong yang terindikasi terjadinya korupsi dilakukan antara pengusaha dengan oknum ASN terkait.
Bayangkan, biaya reklame digital itu investasinya sangat mahal dan produk nya 100 persen import sementara tidak sedikit pengusaha reklame kelas menengah dan bawah nyaris termarginalkan," imbuhnya.
Calon pengiklan pun disebut tidak tertarik untuk memasang iklan di reklame digital karena secara prinsip pengiklan tersebut harus berbagi slot dengan iklan-iklan produk lain.
Kendala penyelenggaraan reklame di kawasan kendali ketat pun ditambah lagi dengan diwajibkannya reklame untuk menempel ataupun terletak di atas gedung.
Sebelum menyelenggarakan reklame di gedung, penyelenggara reklame perlu memastikan bahwa pemilik gedung mau menyediakan ruang untuk penyelenggaraan reklame dan perlu dipastikan juga apakah gedung tersebut cukup kuat untuk ditempeli reklame.
Hal ini masih ditambah lagi dengan biaya sewa yang harus dibayarkan penyelenggara reklame kepada pemilik gedung yang ditempeli reklame tersebut.
APRINDO pun menyarankan agar diwajibkannya penyelenggaraan reklame digital di kawasan kendali ketat dihapus.
"Penayangannya mau statis atau digital itu dibebaskan saja. Agar pengusaha menengah dan bawah tetap survive."jelas Ical.
Selain kawasan kendali ketat, kawasan kendali sedang pun juga memiliki problem tersendiri. Dalam pasal 10 Pergub No. 148/2017, disebutkan bahwa penyelenggaran reklame juga diwajibkan untuk menempel di dinding atau di atas gedung. Penyelenggaraan reklame pun masih diperbolehkan untuk menyelenggarakan reklame statis, tidak seperti kawasan kendali ketat yang harus digital.
Reklame pun juga boleh diselenggarakan di atas lahan dengan batasan luas reklame tidak kurang dari 16 meter persegi. Namun, penyelenggaraan reklame di atas lahan tersebut hanya diperbolehkan untuk reklame-reklame non-komersial yang berfungsi untuk menyajikan nama gedung dan logo dari bangunan yang terletak di lahan tersebut.
"Itu kita bilangnya diskriminasi konten. Itu kita usulkan kontennya jangan dibatasi, mau komersial non-komersial boleh saja, kan tidak ada pengaruh pada estetika ruang terbuka publik," tutur Ical.
Adapun permasalahannya untuk kawasan kendali rendah cenderung terletak di wilayah perbatasan DKI Jakarta dan tidak strategis.
"Pengusaha biasanya daripada pasang di situ lebih baik pindah ke wilayah penyangga. Harga pajak murah, urusannya tidak bertele-tele dan minus larangan," kata Ical.
Ical menambahkan insentif dalam bentuk apapun tidak akan mampu membantu pengusaha reklame untuk tetap menyelenggarakan reklame.
Hal ini karena ruang gerak yang disediakan oleh Pemprov DKI Jakarta melalui Pergub tersebut sangatlah sempit sehingga sangat susah bagi pengusaha untuk menyelenggarakan reklame. (Ihm)