nasional

“Pendapat Hukum Atas Viral Nya Perkara Dugaan Pencabulan Anak Dibawah Umur Yang Terjadi Di Kota Depok”

Senin, 6 Januari 2025 | 15:34 WIB

Edisi.co.id - Pada saat ini sedang viral di berbagai media tentang “Anggota DPRD Depok, RK Klarifikasi Dugaan Kasus Rekayasa Pencabulan”. Faktanya pada tanggal 4 Januari 2025 telah terjadi jumpa pers di Kantor PWI Kota Depok yang dihadiri oleh Terduga Pelaku Pencabulan berserta Isteri dan kuasa hukum, dihadiri oleh Ibu dari Korban inisial A dan awak media.

Pertemuan tersebut pada intinya disampaikan oleh Pengacara RK yaitu “bahwa pada 26 September 2024 telah terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor. Perdamaian tersebut melibatkan pencabutan laporan polisi, berita acara pemeriksaan, dan kompensasi yang telah diterima oleh pelapor. Setelah perdamaian tersebut, korban berlibur ke Surabaya dan Bali.” Dan menurut Pengacara RK “Namun, kasus ini kembali mencuat karena desakan pihak ketiga dengan kepentingan tertentu. Pengacara menegaskan bahwa perdamaian sebelumnya seharusnya menghentikan proses hukum.” (dikutip dari BERIMBANG.COM, terbit tanggal 5 Januari 2025 dan dikutip tanggal 6 Januari 2025).

Kemudian RK juga memberikan keterangan sebagai berikut “bahwa kasus telah diselesaikan secara kekeluargaan dan merasa penetapan dirinya sebagai tersangka tidak adil. Ia juga mencatat bahwa pemberitaan di media dianggap sepihak dan merugikan namanya. RK meminta rekan media untuk melaporkan kasus ini secara objektif dan memberikan kesempatan untuk hak jawabnya.” (dikutip dari BERIMBANG.COM, terbit tanggal 5 Januari 2025 dan dikutip tanggal 6 Januari 2025).

Baca Juga: Muhammadiyah Siapkan Ekosistem Makan Bergizi Gratis

Bahwa atas fakta dalam jumpa pers di Kantor PWI Kota Depok tersebut maka, hal tersebut mengundang Kami sebagai Akademis dan Praktisi untuk memberikan tanggapan tentang Sudut Pandang Hukum terhadap dugaan rekayasa laporan tindak pidana dan Perdamaian atau Restorative Justice di dalam Perkara tindak pidana pencabulan.

Dugaan Rekayasa Tindak Pidana Pencabulan.

 Sejatinya dalam proses penegakan hukum terdapat penyelidikan untuk mencari ada 

tidaknya tindak pidana, kemudian dilanjutkan dengan proses Penyidikan, yang menurut Pasal 1 angka 2 adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Artinya dalam proses penyidikan, Penyidik mencari alat bukti untuk membuat terang dan jelas peristiwa pidana sekaligus menemukan dan juga menentukan tersangka nya. Di mana berdasarkan Pasal 1 angka 14 menyatakan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Hal tersebut berarti dalam menentukan tersangka seorang Penyidik melihat adanya bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka.

Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa/Tersangka. Jadi, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti, dan ditentukan melalui gelar pekara.

Berarti secara hukum suatu peristiwa pidana baru dapat ditetapkan tersangka setelah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang cukup dan alat bukti tersebut merujuk pada seseorang yang dinyatakan kemudian sebagai Tersangka. Adapun jika seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka keberatan atas penetapan tersangka dengan alasan terdapat dugaan manipulasi atau rekayasa maka, pihak yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum PRAPERADILAN, untuk membuktikan bahwa penetapan tersangka adalah salah karena tidak didasarkan alat bukti yang cukup atau salah menentukan Tersangkanya. Namun PRAPERADILAN tidak menyediakan ruang bagi penghentian penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana yang “diselesaikan dengan jalur perdamaian”. 

Akan tetapi, menjadi suatu pertanyaan yang substansial dan harus diketahui umum “Dapatkah dugaan tindak pidana atau tindak pidana pencabulan terhadap anak yang telah dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka dihentikan atau dilakukan SP3 dengan alasan perdamaian atau Keadilan Restoratif?”.

Sudut Pandang Hukum terhadap dugaan rekayasa laporan tindak pidana dan Perdamaian atau Restorative Justice di dalam Perkara tindak pidana pencabulan.

Pada dasarnya keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum dan pekerja hukum. Dalam keadilan restoratif, kejahatan dilihat sebagai pelanggaran dari seseorang terhadap orang lain dan masyarakat. Kejahatan mempunyai dua dimensi baik

individual maupun sosial. Pelanggaran menciptakan tanggung jawab dan berfokus pada penyelesaian masalah. Tanggung jawab didefinsikan sebagai menerima tanggung jawab dan bersedia untuk memperbaiki/mengganti kerugian. Mengutamakan dialog dan negosiasi.

Halaman:

Tags

Terkini