Tiket ke Surga di Tanah Abang

photo author
- Jumat, 6 September 2024 | 10:31 WIB
Stasiun Tanah Abang (foto istimewa)
Stasiun Tanah Abang (foto istimewa)

Catatan Hendry Ch Bangun

Edisi.co.id - Banyak sekali tiket ke surga dijajakan di Stasiun Tanah Abang. Tiket itu tersebar di emplasemen stasiun, di depan pintu stasiun, di taman dan trotoar sekitar stasiun, terus memanjang sampai di jalan Jatibaru, bawah jembatan layang. Harganya tidak sama.

Mereka dijual orang-orang yang setiap pagi datang ke sini berjuang agar keluarganya bisa makan hari itu, agar anak-anaknya terus sekolah dengan bisa membayar iuran, atau membeli baju layak pakai, atau membayar sewa kontrakan rumah. Orang yang tidak punya pilihan kecuali berusaha dengan susah payah, bekerja keras agar bertahan hidup. Ada yang berasal dari Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak, dari Depok, dari Tangerang, dan daerah sekitaran Jakarta.

Mereka ini datang pagi seperti pegawai kementerian, staf perusahaan swasta, satpam, penjaga toko, yang mendapat gaji tetap. Tetapi mereka ini tidak. Pendapatannya adalah apa yang dia peroleh hari itu. Dia yang berdebar menatap mata calon pembeli, pemakai jasanya,apakah nanti dia mendapat satu-dua lembar rupiah bergambar Idham Khalid, Frans Kaisiepo, ataupun Kapiten Pattimura.

Mereka inilah tukang ojek pangkalan yang memanggil-manggil calon penumpangnya dengan wajah senyum dan penuh harap. Pedagang lontong, tahu, bakwan untuk sarapan bagi para pegawai yang berangkat terburu-buru dari rumah. Supir dan calo mikrolet yang memanggil-manggil mereka yang baru turun dari KRL. Penjaja minuman hangat dan dingin. Pengemudi bajaj, pedagang kaus kaki Rp 10 ribu untuk tiga pasang, penjaja pisang, dan banyak kita lihat di seputaran stasiun.

Kalau Nasib sedang baik, saat sore menjelang wajahnya tersenyum. Ada rasa senang, gembira, karena minimal dalam 24 jam kegundahannya sudah lewat. Bisa jadi dia akan memesan nasi bungkus berlauk telor, sepotong ayam, ikan. Kalau keadaan sedang, mereka bersyukur karena minimal ada yang dibawa pulang.
Tetapi bila hari sedang buruk, hanya kekecewaan yang tergambar. Uang yang diperoleh hanya cukup untuk ongkos pulang.

Perut mungkin hanya diisi lontong dan gorengan sebagai pengganti hidangan nasi untuk makan malam. Hati disabar-sabarkan karena tahu sedang menghadapi ujian sambil mencari alasan ketika ditanya anak istri ketika pulang. Malam akan terasa Panjang. Dan di dalam kereta yang penuh sesak pada suatu sore dan sehabis magrib, apa yang dicapai hari itu tergambar jelas.

Baca Juga: Gelar Syukuran, Ratusan Warga Limo Berikan Ucapan Selamat Kepada H. Mohammad HB

Sambil berdesakan dengan penumpang yang bergegas pulang, ada senyum kepuasan. Sambil mencari celah agar bisa sekadar membuka HP dan berkabar ke rumah, menyapa anaknya, bisa jadi terlihat wajah kelam karena target pendapatan tidak tercapai. Termasuk di sini kuli panggul, pembawa barang dengan kereta dorong dari pusat pasar ke kios angkutan barang antarpulau. Atau penjaga toko yang pendapatan berkurangg karena semakin kehilangan pelanggan karena kalah bersaing dengan penjualan online yang murah dan lebih cepat. ***

Tetapi mereka ini orang yang tahu diri dan selalu mengingat Tuhan. Faham bahwa rezeki sudah diurus Sang Pemilik Alam, diatur jatahnya, tidak perlu dikejar-kejar sampai melupakan segalanya. Termasuk menjalankan ibadah rutin tepat waktu. Tanyakan saja kepada mereka bagaimana rezekinya hari ini, mereka tidak akan marah walaupun yang didapatnya tidak sesuai harapan.

“Rezeki sudah diatur, kita mah yang penting usaha aja,” kata penjual makanan yang sore itu masih banyak dagangannya tersisa. “Mau apa, Bang, kita pasrah saja. Kalau cuma segini dapatnya, ya berdoa biar besok dapetnya banyakan,” kata pedagang kaus kaki yang berjualan sambil duduk di pinggir taman.

Mereka ini golongan yang mencoba menikmati hari ini apa adanya. Bekerja, berusaha, dalam kecepatan normal, menjalankan peran sesuai ritmenya. Tidak mengambil hak orang. Tidak merebut ruang kehidupan orang lain. Tidak berebut masuk ke gerbong KRL dengan mendesak ke kiri dan ke kanan dengan pantat dan punggung, sebagaimana ditunjukkan pegawai berbaju rapi dan berbau wangi di stasiun-stasiun. Enjoy your life and let God do the rest.

Kita pun terkadang ingin demikian, tetapi kerap tergoda untuk terburu-buru secara berebihan karena berpikiran bahwa kalau tidak cepat bisa tidak dapat. Bahwa rezeki itu melulu upaya manusia. Padahal sebaliknya rezeki sepenuhnya urusan Allah Swt. Saat usia masih muda, pemahaman makna kehidupan masih dalam pencarian, di dunia yang keras seperti beton-beton bangunan tinggi di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, kemenangan dalam bersaing, adu cepat, adu pintar, adu keras, kita anggap sebagai jawaban.

Tetapi seiring waktu, asam garam kehidupan, kita semakin yakin bahwa ada pihak yang sudah membuat skenario kehidupan dengan lika liku dramanya. Ikuti saja dengan keihklasan, sebagaimana pohon yang membiarkan dirinya diikat, dipaku, dipangkas, ditebang, dan dia tetap memberi kesejukan bagi yang berteduh di bawahnya dengan daunnya yang rindang.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ilham Dharmawan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X