Edisi.co.id – Tulisan ini terinspirasi dari pernyataan Rocky Gerung yang menyebut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa hanya berperan sebagai kasir. Kritik ini disampaikan dalam wawancara di kanal YouTube Mardani Ali Sera pada 12 September 2025 dan dimuat oleh Kompas TV. Rocky menyoroti kebijakan Purbaya yang memindahkan dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank milik negara (Himbara). Perdebatan ini menggambarkan dilema besar: apakah Indonesia harus mengejar pertumbuhan ekonomi atau memprioritaskan pemerataan?
Dilema Pertumbuhan dan Gotong Royong
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menegaskan bahwa ekonomi Indonesia harus berlandaskan asas kekeluargaan untuk mencapai keadilan sosial. Namun, sejak era Orde Baru, kebijakan ekonomi lebih mengutamakan pertumbuhan melalui investasi asing dan pembangunan infrastruktur. Hasilnya, banyak sekolah dan jalan dibangun, tetapi ketimpangan meningkat. Kelompok elite menikmati manfaat lebih besar, sementara rakyat kecil tertinggal.
Baca Juga: Camat Pancoran Mas, Mustakin Apresiasi Lomba PKK Depok Jaya sebagai Investasi Sosial Jangka Panjang
Data memperlihatkan fakta mencolok. Menurut Oxfam (2017), empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara 100 juta penduduk termiskin. Badan Pusat Statistik (Maret 2025) mencatat rasio Gini 0,375, turun tipis dari 0,381 pada September 2024. Ketimpangan di kota (0,395) lebih tinggi dibandingkan desa (0,299). Kelompok 40 persen terbawah hanya menikmati 18,65 persen dari total pengeluaran nasional. Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi belum merata.
Kebijakan Rp200 Triliun: Solusi atau Risiko?
Pada 12 September 2025, Menkeu Purbaya mengumumkan pemindahan Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank Himbara berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025. Dana ini dialokasikan untuk Bank Mandiri, BNI, dan BRI (masing-masing Rp55 triliun), BTN (Rp25 triliun), dan Bank Syariah Indonesia (Rp10 triliun). Tujuannya, memperkuat likuiditas bank, mendorong kredit produktif, dan mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Purbaya menegaskan dana hanya boleh digunakan untuk kredit, bukan instrumen seperti obligasi.
Namun, kebijakan ini menuai kritik. Rocky Gerung menyebut Purbaya sekadar mengelola dana tanpa menciptakan pertumbuhan baru. Ekonom seperti Didik Junaidi Rachbini memperingatkan adanya risiko hukum dan ekonomi. Pemindahan dana tanpa persetujuan penuh DPR berpotensi melanggar Undang-Undang Keuangan Negara. Tambahan likuiditas juga dapat memicu inflasi jika kredit tidak produktif. Selain itu, Bank Indonesia kehilangan cadangan likuiditas, melemahkan kemampuan menjaga stabilitas rupiah. Risiko lainnya adalah kredit bermasalah karena seleksi kredit yang longgar, serta distribusi dana yang cenderung menguntungkan debitur besar di kota, bukan UMKM atau daerah terpencil.
Jalan Tengah untuk Ekonomi Berkeadilan
Untuk mewujudkan ekonomi gotong royong sesuai amanat konstitusi, pertumbuhan harus seimbang dengan pemerataan. Pemerintah perlu memastikan dana Rp200 triliun benar-benar mengalir ke sektor produktif, terutama UMKM dan pedesaan.
Beberapa langkah strategis dapat diambil.
Pertama, dukung UMKM dan koperasi dengan kredit murah disertai pendampingan. Kedua, perkuat lembaga keuangan mikro seperti Baitul Maal wat Tamwil untuk menjangkau masyarakat kecil. Ketiga, optimalkan program tanggung jawab sosial perusahaan BUMN dan swasta untuk pemberdayaan masyarakat. Keempat, terapkan pajak progresif agar kelompok kaya berkontribusi lebih besar pada program sosial. Terakhir, pastikan transparansi dan audit ketat agar dana tersalur secara tepat.
Kesimpulan
Perdebatan Rocky Gerung dan Menkeu Purbaya menyoroti tantangan besar: menyeimbangkan pertumbuhan dan pemerataan. Kebijakan Rp200 triliun bisa mendorong kredit jangka pendek, tetapi tanpa pengawasan ketat, risikonya besar: inflasi, kredit macet, hingga ketimpangan yang semakin lebar. Pemerintah harus memastikan dana ini mengalir ke UMKM, pedesaan, dan sektor produktif, bukan hanya ke konglomerasi. Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat tumbuh tanpa meninggalkan rakyat kecil, sesuai semangat gotong royong.
Refernsi
Badan Pusat Statistik. (2025). Indeks Gini Indonesia Maret 2025. Diakses pada 18 September 2025 dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjAwNiMy/indeks-gini.html.
Artikel Terkait
Hadiri Forum BRICS, Wamenperin Perkuat Kerja Sama RI-Rusia di Sektor Industri
Autokritik Menperin: Transformasi Digital dan Ekosistem Inovasi Sektor Industri Masih Lambat
JITEX 2025 Resmi Dibuka, Wagub Rano: Tampilkan Potensi Bisnis dan Investasi Kelas Dunia
IHW Minta Pemerintah Stop Impor Nampan MBG Tercemar Minyak Babi
Banjir di Bali dan Alih Fungsi Lahan: Refleksi atas Tata Ruang dan Pembangunan Berkelanjutan