Dari Perang Dunia II ke Konflik Iran-Israel: Evolusi Strategi Militer Dunia

photo author
- Selasa, 23 September 2025 | 14:21 WIB

edisi.co.id – Sejarah perang selalu mencerminkan perkembangan zaman. Dari dentuman tank dan infanteri pada Perang Dunia II hingga dengungan drone dan serangan siber dalam konflik IranIsrael, strategi militer telah bertransformasi dari konvensional menjadi simulasi modern berbasis teknologi. Namun, di balik kemajuan taktik dan persenjataan, rakyat sipil tetap menjadi korban utama.

Tulisan ini juga berangkat dari refleksi pribadi. Saya teringat kenangan masa kecil bersama ayah, seorang tentara mahasiswa PRRI sekaligus ajudan Syarifuddin Prawiranegara, yang pernah bergerilya di hutan Sumatera. Kami kerap menonton film Perang Dunia II produksi Hollywood yang selalu mengagungkan kehebatan Amerika. Padahal, fakta sejarah mencatat Tentara Merah Rusia adalah pihak pertama yang masuk Berlin dan memaksa Jerman menyerah tanpa syarat. Dari situlah minat saya terhadap strategi militer tumbuh, dan mendorong saya menelusuri evolusi taktik perang: dari era Blitzkrieg, D-Day, hingga Island Hopping di Perang Dunia II, lalu membandingkannya dengan konflik Iran–Israel pada 2024–2025.

Blitzkrieg: Kecepatan yang Menggemparkan Dunia

Baca Juga: Pendekatan Multi Disiplin dalam Kuantum Ekonomi

Pada 1 September 1939, Jerman menyerbu Polandia dengan strategi Blitzkrieg atau “perang kilat.” Konsep ini menggabungkan serangan udara Luftwaffe, tank Panzer, dan infanteri bergerak cepat. Dalam 35 hari, Polandia berhasil ditaklukkan, dengan Warsawa jatuh pada 27 September 1939.

Menurut catatan Imperial War Museum, Jerman mengerahkan 1,5 juta tentara, 2.000 tank, dan ratusan pesawat tempur. Keunggulan Blitzkrieg terletak pada koordinasi udara-darat yang presisi. Krakow, Lodz, hingga Gdansk jatuh dalam tempo singkat.

Tahun berikutnya, strategi yang sama berhasil menaklukkan Prancis, Belgia, dan Belanda. Bahkan, Jerman mampu menembus Tembok Maginot Prancis yang terkenal kokoh, dengan melewati hutan Ardennes. Namun, keampuhan Blitzkrieg mulai melemah ketika Sekutu belajar membaca pola serangan ini dan menyusun pertahanan yang lebih efektif.

D-Day: Kolaborasi Monumental

Jika Blitzkrieg melambangkan kecepatan, maka pendaratan Normandia pada 6 Juni 1944 adalah simbol kekuatan kolaborasi internasional. Operasi Overlord, dipimpin Jenderal Dwight D. Eisenhower, melibatkan 156.000 tentara Sekutu dari Amerika, Inggris, Kanada, dan negara lain.

Menurut National WWII Museum, operasi ini didukung lebih dari 7.000 kapal perang dan pendarat serta 11.000 pesawat. Untuk mengatasi garis pantai Normandia yang dijaga ketat, Sekutu bahkan menenggelamkan kapal tua sebagai pelabuhan buatan (Mulberry Harbours).

Korban jiwa di pihak Sekutu cukup besar, dengan sekitar 4.400 tentara tewas pada hari pertama. Meski demikian, pendaratan ini berhasil membuka jalan bagi pembebasan Eropa Barat. Paris jatuh ke tangan Sekutu pada Agustus 1944, dan Jerman semakin terdesak. D-Day membuktikan bahwa perang besar membutuhkan sinergi lintas negara, logistik canggih, dan tekad kolektif.

Island Hopping: Efisiensi di Pasifik

Di teater Pasifik, Amerika menghadapi Jepang yang menguasai ribuan pulau. Jenderal Douglas MacArthur merancang strategi Island Hopping atau “lompat katak,” yang menargetkan hanya pulau strategis sambil melewati benteng Jepang yang kuat.

Guadalcanal (1942), Tarawa (1943), dan Filipina menjadi titik kunci. Menurut National Geographic, strategi ini memutus jalur logistik Jepang tanpa harus merebut semua pulau.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X