Dari Perang Dunia II ke Konflik Iran-Israel: Evolusi Strategi Militer Dunia

photo author
- Selasa, 23 September 2025 | 14:21 WIB

Pada 1945, setelah pertempuran sengit di Iwo Jima dan Okinawa, Sekutu mendekati daratan Jepang. Puncaknya, Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima (6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus). Menurut Hiroshima Peace Memorial Museum, sekitar 140.000–200.000 orang tewas, sebagian besar warga sipil. Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat, menandai berakhirnya Perang Dunia II di Asia.

Perang Modern: Teknologi sebagai Kunci

Delapan dekade kemudian, wajah perang berubah drastis. Konflik Iran–Israel pada April 2024 menjadi contoh nyata. Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal balistik sebagai respons atas dugaan serangan Israel terhadap konsulatnya di Damaskus.

Israel menggunakan sistem pertahanan canggih—Iron Dome, Arrow, dan David’s Sling—untuk mencegat serangan tersebut. Menurut laporan IDF, 99% proyektil berhasil digagalkan. Meski demikian, ketegangan terus meningkat.

Pada 2025, Israel melancarkan serangan besar ke fasilitas nuklir dan infrastruktur Iran. Media internasional melaporkan bahwa Amerika Serikat memberikan dukungan finansial ratusan juta dolar untuk memperkuat sistem pertahanan Israel. Iran pun semakin mendekat ke Rusia dan China untuk mencari dukungan militer, termasuk jet tempur dan sistem pertahanan udara.

Di era ini, perang tak hanya di medan darat dan udara, tapi juga di dunia maya. The Washington Post mencatat bahwa serangan siber kini bisa melumpuhkan infrastruktur negara sama efektifnya dengan rudal. Perang modern adalah kombinasi drone, satelit, rudal presisi, dan operasi digital.

Dampak Kemanusiaan: Pelajaran Abadi

Dari Blitzkrieg hingga drone, teknologi militer terus berevolusi. Namun, penderitaan rakyat sipil tak pernah berkurang. Perang Dunia II menewaskan sekitar 50 juta orang, termasuk 20 juta warga sipil (Encyclopaedia Britannica).

Kini, konflik Iran–Israel memperlihatkan pola serupa. Menurut UN OCHA, hingga 2025 krisis di Timur Tengah telah menciptakan lebih dari 1,2 juta pengungsi. Serangan udara dan rudal memperparah penderitaan warga sipil di kawasan yang sudah rentan.

Negara-negara tanpa teknologi militer mutakhir sering kali terjebak menjadi medan tempur yang tak mereka pilih, menanggung beban paling besar dari konflik antar kekuatan besar.

Diplomasi sebagai Jalan Damai

Sejarah menunjukkan bahwa negara yang lemah dalam pertahanan dan diplomasi rentan menjadi korban. Namun, perlombaan senjata tanpa henti juga membawa risiko kehancuran global. Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, “Dunia ini cukup untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk keserakahan satu orang.”

Teknologi seharusnya diarahkan untuk diplomasi dan kesejahteraan, bukan semata-mata untuk peperangan. Upaya negosiasi, seperti langkah Amerika Serikat pada 2025 untuk membuka kembali perundingan damai antara Israel dan pemerintahan transisi Suriah, menunjukkan bahwa ruang dialog masih mungkin.

Investasi pada teknologi damai—kecerdasan buatan untuk kesehatan, satelit untuk mitigasi bencana, energi berkelanjutan—adalah jalan keluar yang lebih menjanjikan bagi dunia yang terus dibayangi konflik.

Penulis : Novita Sari

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rohmat Rospari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Takut Air Meluap Lagi, Outlet Situ 7 Muara Dibersihkan

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:30 WIB
X