edisi.co.id - Sejak Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara pemangku kepentingan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, seluruh komponen pemerintah terkait terus bergerak untuk menurunkan prevalensi angka stunting di Indonesia. Perpres yang merupakan pengganti Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi ini menjadi dasar bagi perumusan strategi nasional percepatan penurunan stunting yang disebut dengan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana harian Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS).
RAN PASTI menjadi pedoman bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam mengentaskan stunting. Di dalamnya memuat strategi percepatan penurunan stunting, mulai dari penguatan komitmen kepemimpinan tingkat pusat hingga daerah, meningkatkan kampanye nasional pencegahan stunting melalui berbagai platform media, pemenuhan gizi keluarga berisiko stunting, konvergensi lintas sektor baik pemerintah maupun swasta, serta tersedianya data dan informasi yang akurat.
Di tingkat bawah, pendampingan keluarga yang dilakukan oleh Kader Tim Pendamping Keluarga (TPK) menjadi garda terdepan dalam mencegah stunting. Pendampingan keluarga merupakan sebuah keniscayaan untuk mengedukasi keluarga, memfasilitasi akses pelayanan, dan memastikan bahwa Keluarga Beresiko Stunting (KRS) penerima bantuan benar-benar memperoleh bansos stunting.
Sejatinya, pendekatan strategi nasional percepatan penurunan stunting adalah pencegahan. Hakikat pencegahan adalah pendekatan hulu, mulai dari keluarga. Pencegahan melalui keluarga agar tidak ada kelahiran baru yang tergolong stunting. Oleh karena itu, peran TPK menjadi siginifikan dalam memberikan edukasi dan penyuluhan kepada keluarga dalam mencegah tejadinya kelahiran stunting.
Percepatan penurunan stunting menjadi 14% tahun 2024, perlu didukung oleh semua unsur, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Pencegahan stunting tidak bisa dilakukan oleh satu unsur saja. Komitmen dan sinergi antara unsur satu dengan unsur lainnya menjadi kunci utama mewujudkan Indonesia bebas new stunting.
Maka dari itu, konsep pentahelix atau multipihak dimana unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media harus bersatu padu berkoordinasi serta berkomitmen untuk menurunkan prevalensi angka stunting. Selain itu, potensi pangan lokal juga harus dioptimalkan menjadi sumber asupan gizi utama bagi masyarakat khususnya keluarga beresiko stunting, yaitu calon orang tua (baca: calon pengantin-red), ibu hamil, ibu pasca persalinan, dan keluarga yang punya balita.
Baca Juga: Ketua MUI: Islamofobia Mengancam Kehidupan Sosial
Dalam konsep pentahelix, akademisi berperan sebagai konseptor yang melakukan penelitian, membantu identifikasi masalah, serta mencari peluang dan merumuskan strategi pengentasan stunting. Selain itu, akademisi juga bertanggung jawab terhadap peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat atau kader TPK karena akademisi merupakan sumber pengetahuan yang mencakup kumpulan konsep, teori, dan model pengembangan terbaru yang relevan dengan kondisi yang ada.
Dalam hal kolaborasi percepatan penurunan stunting dalam konsep pentahelix, pelaku usaha dapat berperan menghadirkan infrastruktur teknologi, modal, dan produk makanan yang sehat, higienis dan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Selain itu, pelaku bisnis juga dapat berperan dalam memberikan bantuan sosial sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan.
Masyarakat atau komunitas berperan sebagai akselerator yang tidak hanya mendukung dengan mempromosikan pola hidup sehat, makanan yang bergizi dan layanan kesehatan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat, namun juga bertindak sebagai penghubung antar pemangku kepentingan untuk membantu masyarakat dalam keseluruhan proses untuk membangun perubahan perilaku menuju Indonesia bebas stunting.
Pemerintah memiliki tiga peran sekaligus dalam konsep pentahelix ini. Pertama berperan sebagai regulator dan kontroler yang membuat peraturan dan memiliki tanggung jawab terbesar dalam percepatan penurunan stunting Dalam menjalankan perannya, pemerintah harus menjadikan penurunan stunting sebagai prioritas utama pada semua jenis kegiatannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian, promosi, alokasi keuangan, perizinan dan lainnya. Pemerintah juga berperan sebagai koordinator bagi para pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam percepatan penurunan stunting.
Media berperan sebagai ekspander dalam mendukung publikasi dan promosi pencegahan stunting, mensosialisasikan kebiasaan hidup sehat, mengedukasi masyarakat agar mengkonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang, serta mendorong perubahan perilaku masyarakat agar tercipta lingkungan yang bersih, sehat, dan nyaman. Selain itu, media juga berperan penting dalam membangun brand image dari perubahan perilaku yang sedang dibangun dalam masyarakat, sehingga akses informasi tentang pencegahan stunting mudah didapat. Dengan adanya kemudahan akses informasi, akan mengundang dan menambah kolaborator baru untuk bersama menciptakan perubahan sosial yang berdampak pada penurunan angka stunting.
Penerapan konsep pentahelix sebagai dasar kolaborasi dapat dimaksimalkan untuk membangun perubahan perilaku di masyarakat dalam upaya percepatan penurunan stunting. Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting pemerintah perlu melibatkan semua pihak untuk saling berbagi peran. Harus disadari bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dalam mengentaskan stunting. Oleh karena itu perlu sinergi dengan semua pihak untuk mengentaskan stunting di Indonesia.***