Edisi.co.id - Pemerintah Indonesia memilih pendekatan diplomatik untuk menghadapi kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Di tengah upaya merancang strategi negosiasi, perhatian publik tertuju pada satu hal krusial—kekosongan jabatan Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat yang telah berlangsung hampir dua tahun.
Kursi Duta Besar RI di Washington terakhir diisi oleh Rosan Roeslani yang dilantik pada 25 Oktober 2021.
Namun, pada pertengahan 2023, Rosan ditarik ke Jakarta untuk mengemban tugas baru sebagai Wakil Menteri BUMN.
Tak lama berselang, ia dipercaya mengisi posisi Menteri Investasi pada masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan kembali menjabat di posisi yang sama di era Presiden Prabowo Subianto. Rosan juga kini mengemban amanah sebagai CEO Danantara.
Hingga kini, belum ada penunjukan resmi untuk posisi Dubes Indonesia di AS.
Kondisi ini menjadi sorotan, terlebih ketika Indonesia tengah menghadapi dinamika hubungan dagang yang menuntut diplomasi aktif.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno menyebut bahwa kekosongan jabatan tersebut disebabkan oleh proses transisi pemerintahan.
Ia menegaskan, ketiadaan duta besar tidak akan menghambat jalannya negosiasi.
"Ya kita kan kalau begini (proses negosiasi) udah high level (pertemuan tingkat tinggi) ya," ujar Havas, seperti dikutip pada Senin 7 April 2025.
Rencana perundingan dengan Amerika Serikat akan dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Pemerintah Indonesia telah menyusun sejumlah strategi sebagai materi negosiasi, yang akan dibawa dalam lawatan resmi ke Washington D.C.
Airlangga menyebut bahwa Indonesia menghindari langkah retaliasi dan memilih jalur diplomasi sebagai bentuk solusi yang lebih konstruktif dan saling menguntungkan.