Oleh : Novita sari yahya
Edisi.co.id - Kerusakan lingkungan yang terjadi di bagian hulu sungai di Sumatera Barat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lingkungan tidak berjalan secara optimal. Banjir bandang yang melanda Kota Padang pada 27 November 2025 menjadi gambaran nyata bagaimana deforestasi, perambahan kawasan hutan lindung, dan perubahan tata guna lahan terjadi tanpa kendali. Analisis citra satelit yang dilakukan WALHI Sumbar pada Juli 2025 menemukan 15 titik kerusakan di hulu DAS Air Dingin, menandakan bahwa degradasi ekosistem sudah berlangsung lama sebelum bencana terjadi. Situasi ini membutuhkan respons cepat dan langkah pemulihan yang terukur, mulai dari kebijakan nasional hingga implementasi di tingkat daerah.
Pemulihan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan satu pendekatan. Semua tingkatan pemerintahan harus bergerak secara terpadu. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi Sumatera Barat, serta pemerintah kabupaten dan kota perlu menerapkan kebijakan berbasis data, terutama dengan memanfaatkan teknologi pemetaan modern seperti citra satelit, GIS, drone, machine learning, dan sensor IoT. Teknologi tersebut sudah terbukti efektif dalam memberikan data akurat dan cepat mengenai kondisi tutupan lahan, tingkat kerusakan hutan, hingga potensi terjadinya bencana.
Berikut langkah strategis yang dapat dilakukan secara berlapis dan terintegrasi.
1. Langkah Strategis Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memiliki peran kunci dalam mengatur arah kebijakan besar, pendanaan, dan penegakan hukum. Mengingat kerusakan lingkungan di Sumbar melibatkan kawasan hutan lindung dan daerah aliran sungai nasional, pemerintah pusat harus mengambil tindakan cepat dan bersifat struktural.
a. Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum Lingkungan
Kerusakan di hulu DAS biasanya disebabkan pembukaan lahan ilegal, pembalakan liar, dan aktivitas ekonomi yang tidak mengikuti aturan zonasi. Pemerintah pusat perlu memperkuat pengawasan pada kawasan hutan lindung dengan melibatkan Polisi Kehutanan dan menambah patroli digital menggunakan data satelit. Dengan citra harian yang diperoleh dari Sentinel-2 dan Landsat, pemerintah dapat mengidentifikasi perubahan vegetasi tidak wajar dan langsung mengirim tim investigasi ke lapangan.
Selain itu, pemerintah perlu menetapkan zona merah pengelolaan lingkungan pada daerah yang terbukti memiliki tingkat kerusakan tinggi. Kawasan tersebut harus diberi prioritas dalam penegakan hukum dan pemulihan ekosistem. Perusahaan atau individu yang terlibat dalam perusakan lingkungan harus dikenai sanksi tegas sesuai Undang-Undang Lingkungan Hidup.
b. Pendanaan Restorasi dan Rehabilitasi Berbasis Teknologi
Pemulihan lingkungan membutuhkan anggaran besar. Pemerintah pusat dapat menyalurkan dana melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Lingkungan Hidup, dana rehabilitasi DAS, serta program pemulihan ekosistem berbasis masyarakat. Dana ini harus diarahkan pada kegiatan yang terbukti efektif, seperti reboisasi berbasis data satelit, pembangunan check dam di daerah rawan erosi, dan pemasangan sensor IoT untuk peringatan dini banjir dan longsor.
Selain itu, perlu dibangun pusat data nasional untuk mitigasi bencana yang terhubung dengan pusat komando daerah. Melalui integrasi data GIS dan big data, pemerintah dapat melihat peta risiko secara nasional dan menentukan prioritas penanganan.
c. Integrasi Sistem Peringatan Dini Nasional
Melalui BMKG dan BNPB, pemerintah pusat harus memperkuat sistem peringatan dini multi-bencana yang menggabungkan curah hujan, ketinggian air sungai, gerakan tanah, dan prediksi cuaca ekstrem. Teknologi IoT dapat dipasang di titik strategis seperti jembatan utama dan lereng yang rawan longsor. Data yang masuk ke pusat pemantauan nasional harus langsung terhubung dengan perangkat daerah agar respon dapat dilakukan secara cepat.